Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Salahkah Lelaki Perasa?

Diperbarui: 27 April 2021   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay/ StockSnap

Sebetulnya saya malu menuliskan ini. Tetapi tidak apalah, toh saya tidak sedang menceritakan orang. Cerita ini murni cerita saya. Sebuah cerita yang sengaja dipendekkan dari bertahun-tahun kisah. Kali ini cerpenis menuliskan ceritanya sendiri.

Saya waktu kecil cengeng. Ketika bermain dengan teman, berupa gundu dan petak umpet, saya kerap menangis saat kalah. Jika teman memaki, saya tidak balas memaki, tetapi menangis. Lemah, bukan? Kalau Anda bilang, saya dirundung saat itu, boleh. Kendati kesal, saya tetap kembali berkumpul dengan mereka.

Dalam keluarga, saya digembleng dengan ajaran agama yang kuat. Oh iya, izinkan saya bercerita kisah SMA sepintas. Di SMA, kesaksian para guru, saya tidak pernah buat onar. Diatur gampang, disuruh nurut.

Melengkapi kisah remaja, waktu lulus sekolah, saya juara satu paralel -- meliputi kelas IPA, IPS, dan Bahasa, bahkan pernah ikut olimpiade Kimia seprovinsi. Ujian Matematika mendapat seratus. Kalau Anda bilang otak saya encer, bolehlah. Saya tidak sedang sombong, tetapi bercerita apa adanya.

Iya, saya selalu rutin belajar setiap malam dua jam, dari pukul tujuh sampai sembilan. Mama memang mengajarkannya. Saya sendiri terpicu semangatnya untuk bersaing dengan rekan se-SMA, yang waktu itu SMA terbaik di kota saya.

Pintar dan perasa. Itulah saya. Apalagi beranjak dewasa, saat saya lebih mendalami agama. Saya orang yang bukan belajar agama dari pemuka agama saja, tetapi juga membaca sendiri kitab suci. Selain membaca, saya pun mendengar via kitab audio. Jadi, kejadian dalam kitab terasa nyata. 

Saya makin perasa. Saya sudah disentuh begitu dahsyat dengan kasih Tuhan. Sepuluh tahun selama kedewasaan saya, saya besar di sebuah lingkungan gereja. Saya melayani begitu rutin di sana. Bahkan, posisi ketua kaum muda tersemat hampir empat tahun.

Selama pelayanan, saya suka menonton Mother Theresa. Bagaimana beliau melayani kaum papa, saya begitu terinspirasi. Semakin lagi jadi perasa saya. Saya terapkan pada anak-anak kaum muda yang saya pimpin.

Menjaga sikap dan perkataan

Dalam bercengkerama dengan mereka, saya begitu menjaga sikap dan perkataan. Selain karena ketua kaum muda, yang tentu harus memberi teladan, sifat perasa saya menuntun untuk tidak melukai orang lewat ucapan.

Kendati ada beberapa yang telah kental pertemanannya, tetap saja, saya tidak mudah berkata-kata yang tidak elok. Mungkin mereka menganggap candaan, bagi saya itu berpotensi menyinggung perasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline