Akhirnya, muncul rasa segan dan penilaian kaku terhadap saya. Saya rasakan benar itu. Tetapi, demi memberi contoh dan menjaga perasaan, saya rela dinilai seperti itu.
Mudah berempati
Bagian ini muncul begitu saja. Ketika ada teman yang dilukai, saya secara otomatis tidak sekadar bersimpati, melainkan langsung berempati. Saya menempatkan diri di posisinya. Saya malah ikutan terluka jadinya.
Bila ada perkabungan, saya rajin mendatangi keluarga yang ditinggalkan, untuk menyampaikan bela sungkawa. Ketika ada teman kesusahan dan butuh duit, saya dengan mudah memberikannya. Tidak meminjamkan ya, tetapi memberikan.
Bodohnya, keseringan berempati ini dimanfaatkan oleh salah seorang teman. Saya baru tahu dari teman lain, bahwa teman itu memang suka berbohong untuk meminjam. Akhirnya saya kehilangan cukup banyak uang karena tertipu.
Tidak ingin merepotkan orang lain
Orang lain punya masalah sendiri. Orang lain ada kesibukan masing-masing. Saya merasa bila tidak begitu darurat, masih bisa dikerjakan tangan sendiri, saya paling enggan merepotkan orang lain.
Meskipun mereka terkadang menawarkan bantuan, saya bilang, "Saya bisa sendiri." Meskipun mereka menawarkan pundak untuk bercerita, saya bilang, "Saya tidak ada masalah. Saya baik-baik saja."
Padahal di dalam kamar, saya begitu tersiksa. Mengapa bisa ada teman yang seperti itu? Mengapa tega mengakali saya seperti ini? Saya hanya menangis, curhat sama Tuhan.
Bagaimana sekarang?
Pintar mungkin masih. Perasa, sudah saya kurang-kurangi. Saya rasa semakin dewasa, terlalu perasa juga tidak baik. Kemungkinan berumur pendek semakin besar. Bagaimana tidak?