Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Sandiwara Kematian

Diperbarui: 4 November 2020   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Tribun Batam

"Pak, tolong tarik kursi itu ke sini" Seru Pak RT pada Pak Budi. Beberapa bapak lainnya terlihat membantu. Mereka repot pagi itu. Salah satu warganya meninggal dunia.

Seperti biasa, bila terdengar kabar perkabungan, secara spontan warga lekas berkumpul. Dari kantor kecamatan, mereka gotong royong mengangkut kursi dan tenda, untuk dipasang di depan rumah keluarga yang ditinggalkan.

Pagi itu, tepat pukul enam, Bu Lala berpulang. Dia tak kuat melawan kanker payudara yang telah menyerang sejak enam bulan lalu. Dia terlambat memeriksakan. Sudah stadium parah, baru berobat. Itu kata dokternya.

Suaminya lebih dulu berpulang. Di rumah tak seberapa besar itu, dia tinggal berdua bersama anak bungsunya. Kendati dia bukan orang kaya, di mata warga, dia terbilang berhasil menyekolahkan anaknya.

Yang pertama kerja di ibu kota, perusahaan perminyakan. Kedua, di pulau seberang, perusahaan perkebunan. Nanti pukul sebelas siang, dengan penerbangan pertama, mereka tiba di rumah. Begitu kata si bungsu.

Kursi sudah tertata rapi, bunga-bunga perkabungan tersusun indah. Banyak warga berdatangan di rumah itu. Dia termasuk warga baik. Suka membantu dan aktif di arisan ibu-ibu.

***

"Yang, ayo ke dalam" Kata Rose perlahan. Dia mengajak suaminya masuk ke rumah. Koper di tangan disandarkan di pintu. Dia berlari menemui jenazah ibunya. Tangisan seketika pecah.

"Ibu, kenapa begitu cepat ibu pergi?" Tangan Rose memegang pipi gemuk ibu yang sudah dimandikan. Berulang kali dia cium pipi itu. Sepertinya dia sayang sekali dengan ibu.

 "Huaaa..huaaa...huuaaaaaRose belum mau ditinggal ibu" Isak tangis semakin kencang. Lantai itu mulai basah dibanjiri air. Warga di sekeliling ikut merasakan betapa menyedihkan kehilangan siang itu. Sebagian terlihat menitikkan air mata.

Dari kejauhan, seseorang berlari. "Ibuuuuuu" Anak kedua datang. Namanya Santi. Di peti mati ibunya, dia merengek-rengek. Terdengar samar, dia seperti menyalahkan Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline