Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Tuhan Bermata Satu

Diperbarui: 4 April 2020   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image via 101kfe

Ketika masa telah datang, di mana rasa terngiang tentang pengabdian kepada setan dimulai, di saat itulah kuasa manusia diperjuangkan, dipegang hingga tak terlepas kecuali oleh kematian. 

Engkau datang bersama orang-orang yang Kau sayang, sedang yang terbuang? Sampai putus pita suara memanggil namaMu, namun tak pernah Kau hiraukan. 

Aku datang bersama orang-orang yang terbuang, sedang Kau lalu lalang bersama mereka yang Kau sayang. Dimanakah wujudMu berada, Tuhan. Sampai lelah kaki ini melangkah, sampai pasrah asa ini tak pernah terjamah. 

Aku terbuang di ujung dunia, tak berkawan, tak punya iman. JejakMu samar-samar aku ikuti, suaraMu tak ada di memori. Angin kurasa gersang, kering terik matahari tak henti membakar kulit, tapi diriMu tak pernah kembali, bahkan hanya sekedar bertegur sapa.

Tak ada apapun, kemanusiaan yang sepanjang masa dijunjung tinggi pun tak aku temui, tak ada. Rasanya segala yang terasa aku selipkan do'a, aku rapihkan per abjad, aku tata hingga enak dipilah. Namun keajaiban itu tak pernah muncul, tak pernah terdengar, hingga perlahan kotak-kotak sengon mulai rapuh dilucuti rayap.

Oh Tuhan, katanya Engkau penawar segala racun, pengabul semua do'a yang baik, Dzat yang maha adil. Tapi kenapa Engkau anak tirikan orang-orang yang terbuang, yang disingkirkan dari indahnya kemajuan zaman. 

Tapi aku yakin, Tuhan, mereka masih tetap setia berdo'a, memohon ampun atas kesalahan yang tak mereka lakukan. Entah, aku pun heran, setebal apa iman mereka. Atau mungkin, lebih baik berTuhan walau hidup menderita. 

Derita yang tak berkesudahan, derita yang lambat laun membunuh mereka secara pasti. Mungkin, yang penting berdo'a dan beriman. Urusan dijabah atau tidak, peduli setan.

Tapi tidak bagiku, Tuhan. Engkau tak lebih dari sekedar pembual. Pembual ulung yang merdeka. Pembual sempurna yang berhasil menaklukkan logika banyak manusia. Jika Kau ingin melaknat, laknatlah sekarang Tuhan. 

Dilaknat atau tidak, sama saja. Tak ada perbedaan. Tak ada keistimewaan. Percayalah, Tuhan. Dulu, setiap saat namaMu selalu terucap secara kaffah, tak ada keraguan yang berani singgah di hati dan pikiranku. Syair ayat-ayat suci aku lantunkan, kugemakan hingga menetes air mataku, bergetar bibirku, merinding tubuhku. 

Apapun yang berhubungan denganMu begitu aku sakralkan, begitu mistis hingga tak ada setan yang berani mendekat. Butir-butir tasbih tak terhitung aku mainkan, sholawat serta salam tak lupa aku tinggikan. Begitu sempurnanya pesonaMu saat itu, Tuhan, hingga aku pikir tangan ini terlalu najis untuk menyentuhMu, bibir ini terlalu lamis untuk menyebut namaMu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline