Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Musnahlah Wahai Memori

Diperbarui: 14 September 2019   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by Hara Nirankara

Aku pikir tak akan ada lagi jarak di antara kita. Aku pikir jurang yang tadinya menyatukan dua bukit itu tak akan melebar. Tapi ternyata dugaanku salah. Aku kembali berduka atas kehilanganmu. 

Tak ada lagi malam yang menyongsong cahaya terang. Tak ada lagi pelangi di atas awan. Aku benar-benar menyesali atas yang terjadi, kehilangan lagi di saat aku mulai kembali mekar. 

Harum mewangi aromamu tak akan lagi aku rasa. Bisik lucu tawamu tak akan lagi aku dengar. Senyum manis nan lucu itu tak akan pernah aku lihat lagi. Getir memang, tapi aku bisa apa? Selain memendam dukaku dalam-dalam.

Manisku. Dengarlah terkaan-terkaan di luar sana. Yang selalu mengusik kupingmu, yang selalu mengganggu daya pikirmu. Masihkah kau dengar? Masihkah kau merasakan? Tadinya kuatku bertahan karenamu, menghadapi ocehan dunia berdua denganmu. Tapi lihatlah kini, kasihku. Aku tak berdaya melindungi diri dari rentetan peluru yang menembus jantungku.

Entah, kenapa kau dan aku selalu begini. Kembali berpisah setelah sedetik bertemu, berpisah kembali seabad lamanya. Jangan kau menatapku dengan tatapan sayu. Jangan memandangku dengan getaran bibir yang kau ciptakan. Sungguh aku tak bisa menahannya, kesakitan yang selalu berulang di saat kau dan aku sedang mesra-mesranya.

Aku tak pernah memintamu untuk kembali. Aku hanya berharap. Aku tak pernah memaksamu untuk memelukku. Aku hanya berharap. Dan aku tak pernah memaksamu untuk tersenyum untukku. 

Aku hanya berharap. Harapan-harapan itu selalu muncul menjelang tidurku, selalu tercipta di kala kesendirianku. Najis. Iya najis. Najis lah aku selamanya, yang hanya bisa berharap di kala senja menyapa. Najis lah aku yang selalu bersembunyi di balik rasa takutku.

Dingin waktu itu selalu terngiang di kepala. Semilir angin waktu itu selalu hangat di memori. Cahaya-cahaya lampu kuning tua itu selalu membekas di hati. 

Nyaman, kasihku, hingga aku tak kuasa menahan desakan air mata. Tapi kamu tak pernah tahu, bahwa namamu selalu terucap di sela nafasku. Wajahmu selalu ada di setiap denyut nadiku. Dan kamu tak akan pernah tahu, karena memang aku tak mengijinkannya.

Aku berusaha keras mengejarmu yang semakin menjauh. Aku berusaha kerasa mendekatimu, tapi kau semakin lari dariku. Raga ini terlalu lelah, jiwa ini semakin lemah. Tapi aku tak pernah kapok, walau sering kali kau ludahi wajahku.

Aku menatapimu selalu, aku memimpikanmu sepanjang hayatku. Dan entah sampai kapan ini akan terjadi, manisku. Merindu sendirian, berharap yang tak akan pernah terwujud. Tapi aku yakin, suatu saat petir akan menghentak logikaku, membuatku tersadar, bahwa menyentuh hatimu adalah sesuatu yang teramat mustahil untuk terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline