Lihat ke Halaman Asli

Hilman Fajrian

TERVERIFIKASI

Internet Membuat Makin 'Bodoh'

Diperbarui: 23 Agustus 2016   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Salah satu meme kebodohan di internet/izilol.com)"][/caption]

"Of course it's true, because this is internet and posted by an anonym."

Jawaban kelakar sarkasme itu kerap ditemui di 9gag, sebuah situs humor. Diawali pertanyaan seseorang apakah meme yang dilihatnya berisi informasi yang benar atau tidak, maka responnya adalah jawaban itu. Lucu sekaligus ironis karena menggambarkan apa yang terjadi dengan kita semua, para pengguna internet.

BUBARNYA HIERARKI

Saat mampir ke SMA tempat saya bersekolah 17 tahun lalu, guru-guru berkeluh-kesah. Murid sekarang, kata guru saya, jauh lebih kritis dibanding zaman saya dulu. Bedanya, kritisnya murid zaman dulu kepada gurunya karena mereka punya buku bacaan yang lebih banyak dibanding buku pelajaran. "Sekarang murid-murid mendebat bahan pelajaran pakai sumber dari internet. Dari blog, situs berita, forum, bahkan Facebook dan Twitter. Padahal kita sebagai guru belum memeriksa validitas sumber mereka," keluh salah satu mantan guru saya. Saya ikut prihatin.

Membaca paper John Gehl dan Suzanne Douglas berjudul From Movable Type to Data Deluge, membuat saya makin prihatin. Laporan yang diterbitkan jurnal Educom Review itu menjelaskan tentang berubahnya kendali informasi dan pengetahuan. Di era sebelumnya, kita menganggap pembawa pesan memiliki lebih banyak informasi dan pengetahuan daripada pembaca. Di era internet, posisi itu berubah: pemilik kontrol bukan si pembawa pesan, tapi si pemegang tetikus.

Internet, kata Gehl dan Douglas,telah membuat penggunanya memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena akses dan kesetaraan informasi. Dengan ketersediaan informasi sangat luas yang bisa mereka akses lewat ujung jari, pengguna internet merasa bahwa level pengetahuan mereka setara dengan si pembawa pesan.

Elias Aboujaoude, doktor ilmu kejiwaan klinis Standford University bercerita tentang Ashley dalam bukunya Virtually You. Ashley adalah seorang remaja yang dibawa ibunya berobat ke Elias. Ibunya menduga Ashley menderita depresi karena melihat tanda-tanda yang sesuai dengan yang ia baca di internet. Dari internet pula ibunya tahu bahwa obat antidepresan yang cocok adalah Wellbutrin. Maka datanglah mereka berdua ke Elias. Si ibu ngotot meminta Elias meresepkan Wellbutrin bahkan ketika Elias belum melakukan pemeriksaan.

Internet, ditulis Aboujaoude, meyakinkan kita bahwa kita lebih terpelajar, lebih dewasa atau lebih pintar dibanding kita yang sebenarnya. Fenomena ini mengancam runtuhnya hubungan hierarki sosial terhadap informasi seperti hierarki dokter-pasien, guru-murid, orangtua-anak, ahli-orang awam.

"Internet telah menjadi mesin peningkat rasa percaya diri yang belum pernah ada dalam peradaban manusia," tulis Aboujaoude yang menyebutinternet sebagai The Great Equalizer.

Ketika Mayweather mengalahkan Pacquaio, orang-orang mendadak jadi pengamat tinju dalam semalam. Pernyataan pengamat tinju yang punya reputasi jadi tak penting dan tak populer. Ketika Polda Bali belum menetapkan Margriet sebagai tersangka pembunuhan Engeline, ramai orang jadi detektif dan menuduh polisi tidak kompeten. Ketika Air Asia QZ8501 jatuh, tidak sedikit yang merasa dirinya pakar penyelamatan.

KEPUNAHAN LITERASI

Mungkin kita menganggap membaca buku sama nilainya dengan membaca blog, atau membaca majalah sama dengan membaca situs berita. Nyatanya tidak. Dalam laporan British Library tahun 2008, pembaca buku dan pembaca digital punya perilaku berbeda. Otak pun bekerja dengan cara berbeda antara membaca buku dan digital. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline