Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Membaca Pemikiran Krishna Mihardja lewat Karya Sastra

Diperbarui: 3 Januari 2023   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dok: Hermard

Karya sastra merupakan abstraksi pemikiran dan pengalaman penulisnya. Lewat crita cekak (cerita pendek) "Horn", "Safari", dan "Ledhek" audience mampu membaca pemikiran politik Krishna mengenai  Orde Baru dan hegemoni kekuasaan.

Crita cekak (cerkak) Krishna Mihardja selalu tampil dengan struktur  cerita  tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami pembaca. Kondisi itu setidaknya dapat dicermati dari kehadiran antologi  Ratu dan antologi Pratisara. Antologi Ratu merupakan kumpulan cerpen (crita cekak---cerkak:  bahasa Jawa), diterbitkan oleh  Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, memuat 17 cerkak.  Di sisi lain, antologi  Pratisara diterbitkan oleh Leutika  Prio, Yogyakarta,   memuat 28 cerkak---sebagian  besar pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan Pagagan, serta sebagian kecil lainnya merupakan cerkak baru dan belum pernah dipublikasikan.  

Judul-judul cerkak  dalam dua antologi tersebut terkesan sederhana, misalnya "Horn", "Ratu", "Sapari", "Sandhal Jinjit" (antologi Ratu), "Kursi", "Topeng", "Kacamata",  "Lara Cangkem", dan "Jenengku Asu" (antologi Pratisara). Meskipun demikian, bukan berarti cerkak-cerkak Krishna Mihardja  tidak mempunyai nilai lebih.

 Kesederhanaan judul dan cara bertuturnya justeru menghasilkan cerkak  yang dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia mengejek diri sendiri lewat tokoh-tokoh yang ditampilkan dan di sisi lainnya menohok  para penguasa serta masyarakat melalui kritik-kritik sosial  dengan cara glenyengan (seenaknya sendiri)  tetapi begitu mengena dan terasa tajam mengiris.

Membaca dua kumpulan cerkak Krishna Mihardja, pembaca seperti dihadapkan  pada buku kajian sosial budaya dan politik dengan  penggambaran berbagai friksi dalam masyarakat Indonesia.  

Kejelian Krishna Mihardja memotret momen-momen kejadian dituturkan dengan cara sederhana,  mudah dicerna, dibingkai  dalam guyonan parikeno. Ia  menyindir persoalan pergeseran nilai-nilai  tradisi budaya, pemilihan lurah yang  tidak lepas dari politik uang, penguasa dengan kegemaran  menakut-nakuti masyarakat kecil  tak berdaya,  dan pemenuhan hasrat perempuan yang akhirnya membuat laki-laki kelimpungan.

Foto: dokpri Hermard

Pemahaman cerkak "Horn", "Sapari", dan "Ledhek" berangkat dari keyakinan   sastra merupakan pasemon;   menampakkan hubungan  bebas dengan realitas, merupakan hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor  sosial dan kultural; serta sastra sebagai risistansi terhadap hegemoni negara dan pembangunan.  

Asumsi pertama berkaitan dengan gagasan Goenawan Mohammad  bahwa sastra merupakan sindiran halus (pasemon), menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu. Dengan demikian, dalam pasemon, makna tidak secara apriori hadir. Makna hadir bukan dengan  menceritakan sesuatu "sebagaimana adanya", tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.  

Asumsi kedua sejajar dengan gagasan Mudji Sutrisno  bahwa ketika terjadi pergeseran tradisi (kosmologi)---dari pandangan  teratur, tertata dan harmonis (dunia agraris), menuju sesuatu yang bergerak tidak pasti, nomade, dislocated (urban) ---maka terjadi dislokasi nilai.

Asumsi ketiga berangkat dari gagasan  sastra pada hakikatnya merupakan suatu  bentuk sistem interpretatif. Budiawan menggariskan bahwa sastra dapat dipahami dengan  melihat sejauh mana ia merepresentasikan dan memisrepresentasikan ideologi  dominan. Dalam konteks perubahan sosial, budaya dan politik, dapat dikaji sejauh mana karya sastra merepresentasikan  dan atau memisrepresentasikan  nasionalisme, pembangunan, dan stabilitas nasional.

Membaca cerkak Krishna Mihardja, pembaca seperti dihadapkan  pada buku kajian sosial budaya dan politik, menggambarkan berbagai friksi dalam masyarakat Indonesia.  Kejelian Krishna Mihardja  memotret momen-momen kejadian dituturkan dengan cara sederhana dan mudah dicerna. 

Kegelisahan Krishna Mihardja terhadap ketidakberdayaan masyarakat (khususnya masyarakat Jawa) dalam pembangunan dan pergeseran nilai-nilai tradisi,  budaya, serta politik, setidaknya dapat dicermati lewat cerkak "Horn", "Sapari",  dan "Ledhek".  

Melalui cerkak "Horn"dan "Sapari", Krishna Mihardja menunjukkan bagaimana lewat karya sastra (dalam konteks perubahan sosial, budaya dan politik), ia merepresentasikan  atau memisrepresentasikan  nasionalisme, pembangunan, penguasa, dan stabilitas nasional saat karya tersebut dilahirkan (tahun 1990-an)---ketika isu mengenai pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru masih hangat diperbincangkan dan dipertentangkan. Di sisi lain, cerkak "Ledhek" memperlihatkan kegelisahan Krishna Mihardja terhadap perubahan masyarakat  Jawa dari masyarakat agraris menuju masyarakat moderen.

Tragika Masyarakat di Lingkaran Penguasa dan Pembangunan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline