Lihat ke Halaman Asli

Lebaran Di Musim Kemarau

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1345896660936998938

Desir angin pagi terasa menusuk-nusuk kulitku. Sebuah perasaan yang menerbangkan ingatanku ke masa  dua puluhan tahun yang lalu, saat masih tinggal di sebuah kampung tempat aku tumbuh dari kecil hingga remaja. Jika malam pada bulan-bulan Agustus sampai Desember, rasa menggigil setiap kali bangun dari tidur amat terasa, sebagaimana pada bulan Agustus tahun ini, saat kami sekeluarga merayakan lebaran di kampung halaman.

Embah putri dan embah kakung atau kakek dan nenek saat ini pun sudah tak segagah dan sebugar dulu, saat hari-hari kami lalui bersama. Ada rasa haru melihat kondisi mereka. Dengan tongkat yang mesti dipakainya untuk membantu berjalan, embah putri dan embah kakung menjalankan aktifitas sehari-hari. Tak lagi bisa kulihat embah pergi ke pasar lalu pulang dengan jajanan pasar yang memikat hati. Tak lagi kulihat embah kakung merawat kambing-kambing yang sudah dijual semua karena tak lagi mampu merawat kambing-kambing itu karena penurunan kekuatan fisiknya di usia sembilan puluh tahun.  Tinggal beberapa puluh ekor ayam kampung yang cukup mandiri dan tak menyusahkan untuk merawatnya yang setia menemani kehidupan embah putri dan embah kakung. Ayam-ayam itu tahu kapan harus mencari makan dan kapan harus pulang, sehingga embah putri tinggal menghalaunya saja untuk masuk atau keluar kandang.

Di musim kemarau seperti ini, pohon-pohon pun mengering dan menggugurkan daun-daunnya. Pohon jati yang mendominasi pepohonan di kampungku, seolah serentak menggugurkan daun-daunnya yang biasanya di musim hujan berdaun sangat lebat dan sering diambil daunnya untuk membungkus makanan atau tempe kedelai khas kampungku.

Hampir lima bulan hujan tak pernah singgah membasahi tanah. Sungai-sungai mengering, meninggalkan gumpalan-gumpalan batu yang menyembul dan pasir-pasir mengering di pinggir sungai. Tak lagi seperti saat aku kecil bersama kawan-kawan mandi di sungai dengan air melimpah, ikan-ikan yang mudah didapat. Ke mana mereka saat ini ? Ke mana air sungai yang dulu bisa kami anak-anak kampung memuaskan diri mandi dan berenang ala kampung dengan penuh riang ? Ya, sudahlah. Biar saja jadi kenangan indah dalam memori hidupku.

Dan lebaran tahun ini, di musim kemarau di kampungku. Biar bagaimana pun ada rasa kebahagiaan dan kerinduan yang terobati dengan pertemuan bersama embah dan karib kerabat yang dulu pernah ada dalam kehidupan masa kecil hingga remajaku.

"Mbah kakung lan mbah putri. Ing dinten riyadi puniko keng putu nyuwun pangapunten lan agenging pangaksami, awit kulo nggadahi kalepaten ingkang dipun sengojo ugi mboten sengojo, ingkang alit ugi ingkang ageng. Sugeng riyadi nggih mbah." begitulah ungkapan berlebaran ala kampung kami yang masih menggunakan bahasa jawa. Biarlah tidak umum seperti yang biasa kami lakukan di kota dengan ungkapan "Minal aidin wal faizin, taqoballohu mina wa minkum". Allah tentu mengerti maksud kami meskipun memakai bahasa ibu.

Saat kami mengucapkan selamat lebaran, embah nampak sedikit melelehkan air mata. Tak terasa seperti kesetrum kelopak mataku pun mengeluarkan cairan bening karena turut terharu dalam suasana kerinduan di hari yang fitri ini. Kembali bertemu embah,  kampung asal dan kehidupan masa kecil. Dan yang pasti, kelak akan kembali kepada kejadian asal dan kampung surga tempat Adam diusir Tuhan.

Aku merasakan makna lebaran  yang luar biasa pada lebaran di musim kemarau ini. Itulah mengapa banyak orang rela mengeluarkan ongkos mahal, perjalanan yang melelahkan dan resiko keamanan yang cukup tinggi. Kerinduan kepada asal begitu kuat menerobos dinding-dinding penghalang sekuat apapun. Kerinduan adalah fitrah alami manusia.

Dan di lebaran tahun ini kami bersyukur, meskipun musim kemarau alhamdulillah tidak mengalami kekurangan air karena  mendapatkan kucuran air dari sebuah umbul yang dialirkan dengan mesin ke semua warga. Embah putri dan embah kakung pun tak perlu menimba sumur kembali.

"Mbah, meskipun kita akan kembali berpisah dan berjauhan usah bersedih ya mbah. Masih ada Allah yang akan menemani kita dalam sepi maupun ramai. Ikhlaskan kami kembali ke kota, semoga tahun depan bersua kembali. " begitu pamitku pada embah, meninggalkan embah dengan ditemani kesepian yang kembali menggigit seperti hari-hari sebelumnya.

#Depok, 25 Agustus 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline