Lihat ke Halaman Asli

Mengingat Mati Sebagai Sahabat Yang Paling Dekat

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13369994431804290380

"Wahai muridku, apakah yang paling dekat dengan diri kita ?" begitu Imam Ghazali, seorang guru sufi  suatu ketika bertanya kepada murid-muridnya.

Jawab murid pertama : " istri" Jawab murid kedua : " anak" Jawab murid ke tiga :" ibu" Jawab murid ke empat :" teman"

"Semua itu benar wahai muridku, tapi... ada yang lebih benar. Yaitu maut."  Al-Ghazali meluruskan jawaban murid-muridnya dengan menunjukkan jawaban yang lebih tepat. Murid-muridnya pun menampakkan wajah yang bertanya-tanya. Bagaimana mungkin maut bisa menjadi sahabat yang paling dekat ? Begitu kira-kira pertanyaan mereka.

Mari  kita renungkan. Jika kita pergi meninggalkan istri, masihkah istri tetap dekat dengan kita ? Jika kita berpisah dengan ibu karena sudah berkeluarga, masihkah ibu selalu bersama kita ? Jika kita berpisah saat lulus SMA atau bangku kuliah, apakah teman-teman kita pasti ikut serta ? Jika kita melakukan perjalanan dinas ke luar kota, apakah rumah, mobil, dan harta-harta kita selalu kita bawa agar dekat dengan kita ?

Ya, yang selalu menyertai kita setiap saat adalah : maut atau kematian.  Manusia bisa mati karena saat bepergian, bisa mati saat tidur, bisa mati saat meninggalkan istri, teman, orang tua. Bisa mati saat perjalanan dengan pesawat terbang, kapal laut, atau bus yang full AC sekalipun. Bahkan kita tahu, dalam keadaan berjalan  di trotoar pada pagi yang cerah sekalipun, siapa yang menyangka akan menemui ajal dengan digilas oleh mobil Xenia , seperti yang terjadi di Tugu Tani ? Bahkan tidak memandang usia anak-anak, muda, dewasa atau pun tua. Tidak memandang orang miskin atau pun kaya, kematian selalu siap jika waktunya sudah ditentukan. Dengan cara apapun dan waktu kapan pun. Kalau begitu di manapun manusia berada, kematian adalah sahabat yang terdekat.

Dengan mengingat kematian, akan memiliki tiga dampak dalam keberagamaan kita.

1. Akan menjadi hamba yang bersegera bertobat 2. Bersegera melakukan ibada kepada Allah 3. Meninggalkan perbuatan maksiat.

Begitulah sebagian dari tausiah Ustadz Sueb Mawardi pada kajian KALAM ( Kajian Ahad Malam )  dua mingguan di tempat tinggal penulis. Sebuah tema yang mungkin sering diangkat dalam tausiah, namun meskipun senantiasa diulang, harapan kita akan selalu bisa mengingatkan hakekat kehidupan di dunia ini.

Sebuah kehidupan di dunia, yang mana Nabi pernah menasehatkan agar kita merasa seolah-olah adalah musafir yang sedang mengembara di negeri asing. Jangan sampai larut sehingga lupa kembali ke kampung halaman. Pengembaraan manusia di dunia, hanyalah seperti mampir saja sementara waktu. Jika sudah saatnya kontrak kehidupan berakhir, tak akan ada yang bisa memajukan atau memundurkan. Itulah sahabat yang paling dekat. Sahabat yang selalu menasehati agar kita selamat, dan tidak terlena oleh segala hingar-bingar dan kenikmatan dunia. Sebuah kenikmatan yang sering kali menipu dan melenakan kita sebagai musafir, hingga lupa jalan menuju kampung halaman.

Demikian, semoga ada manfaatnya untuk kita semua.

Wassalam foto dokumentasi : Ustadz Sueb Mawardi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline