Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Melihat Titik Lemah (Bisa Jadi yang Terpilih Koruptor)

Diperbarui: 10 Januari 2023   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat Titik Lemah 

(Bisa Jadi Yang Terpilih Adalah Koruptor)

Foto : Kompas.Com

Sistem Pemilihan Umum dengan pola proporsional tertutup yang menjadi salah satu alternative sistem Pemilu yang tengah diramaikan, menempatkan partai politik yang secara langsung "fight" dipilih atau tidak dipilih oleh rakyat. Tidak ada daftar nama-nama calon anggota legislativ tertera pada kerta suara. Partai yang kelak akan menentukan siapa wakil-wakil mereka yang duduk di kursi parlemen.

Banyak yang mengibaratkan, sistem pemilu yang demikian ibarat rakyat dihadapkan pada pilihan saat membeli kucing dalam karung. Tidak tahu apakah pilihannya tersebut sesuai atau tidak. Hal ini tentu memiriskan, mengapa? Sangat mungkin, bahwa nantinya orang-orang yang terpilih oleh partai, karena partainya menjadi mayoritas dalam pemilu, adalah orang-orang yang "kontraproduktif" pada nilai-nilai normativ yang ada. Mereka pernah menyandang sebagai "pelaku tindak pidana" atau bisa jadi adalah "residivis". Apakah dalam konteks ini pelaku tindak pidana umum, tindak pidana asusila sampai pada status koruptor.

Ketika rakyat pemegang hak pilih, menggunakan haknya di TPS-TPS, tidak bisa terbayang oleh mereka siapa calon yang akan dipilih. Simbol-simbol partai-lah yang menjadi ujung harapan pilihan. Bagaimana dengan sistem proporsional yang terbuka? Apakah lebih demokratis dari yang tertutup tadi? Ada beberapa pendapat yang membenarkan hipotesis ini. Namun, tetap saja ada titik lemahnya.

Calon legislator pada sistem pemilu yang terbuka, berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan dirinya popular dan dikenal public. Dampaknya? Potensi politik uang sangat besar dalam konteks ini. Ingat pengakuan beberapa selebritis seperti Kris Dayanti, yang harus mengeluarkan sekian milyar rupiah, agar dirinya bisa duduk di Kursi Parlemen, walau ia sendiri sudah termasuk publik figure. Bagaimana yang belum publik figur? Tapi ia memiliki tumpukan harta? Potensi untuk bagi-bagi uang yang akhirnya berkorelasi pada politik biaya tinggi, muncul di sini.

Publik tentu tidak lupa OTT KPK saat menjelang Pemilu 2019, tersangka kasus suap anggota DPR dari salah satu fraksi mengaku diminta partai dan petinggi partai untuk menyiapkan amplop-amplop serangan fajar? Milyaran uang yang sudah diamplopi tersebut hasil penggeledahan KPK pada salah satu kantor milik kolega tersangka dalam perkara distribusi pupuk. Tersangka "nekad" mencari sumber dana illegal agar bisa melanggengkan kekuasaannya.

Tentu ini menjadi sebuah ironi. Di satu sisi bangunan kepercayaan yang seharus diperoleh dengan cara-cara kerja keras sehingga memunculkan empati public, di by pass dengan cara "pembagian amplop" tadi. Jelas menciderai nilai-nilai demokrasi, namun bukan sebagai rahasia bila politik uang sangat berpotensi terjadi dalam upaya memaksimalkan peroleh suara.

Bagaimanapun juga, masih menjadi fenomena uang menjadi relevan dengan perolehan suara saat pemilihan umum, baik dari level pilihan kepala desa, kepala daerah sampai saat pemilu untuk calon legislatif.  Menurut Juliansyah (2007), politik uang adalah suatu upaya untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).

Harapannya proses demokrasi, bagaimanapun sistem yang digunakan, cara-cara elegan para pihak yang terlibat dalam pemilu harus dijalankan, karena dengan cara elegan inilah demokrasi akan menunjukan kualitasnya. Semakin bagus kualitas demokrasi, akan berimbas pada bidang dan aspek kehidupan lainnya dalam berbangsa dan bernegara. Logika sederhananya adalah, bagaimana mungkin kontruksi hidup bernegara berjalan dengan baik, ketika penyelenggaranya bersumber dari cara-cara yang ilegal? Momentum untuk perubahan senantiasa digelorakan saat mendekati pemilu, namun sepertinya belum juga terwujud apa yang menjadi harapan kita semua. Semoga saja untuk pemilu 2024 mendatang, harapan untuk bisa terlaksanakan pesta demokrasi yang benar-benar steril dari "upaya-ilegal" untuk membenarkan segala cara agar bisa terwujud berkuasa, tidak terjadi. 

Salam Penuh Harapan Untuk Negeri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline