Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Prahara Usai Keputusan Linggarjati Disepakati

Diperbarui: 16 November 2022   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster Soekarno dalam arsip gedung Perundingan Linggarjati (Sumber: wikipedia.org)

Keputusan Pemerintah Republik menyepakati dilaksanakannya perjanjian Linggarjati memang semata-mata untuk mengurangi dampak perang pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Tetapi hal itu tidak berdampak baik dimata para pejuang yang angkat senjata, walau secara politik dianggap sebagai langkah yang positif di mata dunia internasional.

Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1946 oleh Pemerintah Indonesia, faktanya menimbulkan gejolak antar kesatuan militer dan laskar pejuang Republik. Mereka kerap mengencam aksi diplomatis yang justru menimbulkan kerugian di pihak Republik. Alih-alih daerah kekuasaan Republik justru semakin kecil sebagai dampak dari perjanjian yang disepakati.

Sekiranya ada tiga point penting dalam perjanjian Linggarjati:

1. Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, dan Madura.

2. Pihak Indonesia dan Belanda sepakat membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

3. Dalam RIS, Indonesia harus tergabung dibawah persemakmuran Indonesia-Belanda, dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Jika melihat keputusan Linggarjati, maka seluruh kesatuan tempur yang berada di luar area yang disepakati tentu harus takluk kepada Belanda. Bukan sekedar menyerahkan senjata, melainkan membubarkan diri dalam mode pengawasan dari militer Belanda. Nah, sudah tentu hal itu menimbulkan polemik yang membuat suasana militer menjadi kacau.

Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai asal muasal terjadinya berbagai gejolak di berbagai daerah.

Partai Masyumi, Partai Rakyat Indonesia, PNI, hingga Partai Rakyat Jelata pun menolak keras hasil keputusan yang dianggap sepihak tersebut. Satu sisi, partai-partai yang ada kala itu memang mempunyai laskar-laskar bersenjata yang tengah baku tembak dengan Belanda di setiap daerah yang penuh dengan konflik bersenjata.

Berikut dengan Markas Besar Tentara, yang mengungkapkan kurangnya rasa keberpihakan Pemerintah terhadap para pejuang (TKR) yang bertempur di garis depan. Apalagi, disebut-sebut Indonesia harus mengakui Ratu Belanda sebagai pempimpinnya. Suatu point yang dirasa sangat menyinggung perjuangan para pejuang Republik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline