Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Amuk Krakatoa 1883

Diperbarui: 27 Agustus 2022   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Litografi letusan Krakatau (circa 1888, by: wikiwand)

Akhir bulan Agustus tahun 1883, tiba-tiba terdengar letusan dahsyat dari gunung Krakatau di pulau Rakata, Selat Sunda. Selama beberapa waktu sebelumnya, beberapa kali gemuruh dan letusan kecil kerap terjadi dan dianggap sebagai hal wajar oleh masyarakat sekitar di pesisir Banten. Seolah tidak akan terjadi hal yang menakutkan sebagai catatan kelam bencana terdahsyat pada masa lalu.

Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh pihak Belanda, mulanya memang tidak menunjukkan akan betapa mengerikannya efek dari letusan Krakatau nanti. Maka, nyaris tidak ada upaya evakuasi atau penyelamatan bagi seluruh kegiatan di sekitar Selat Sunda. Bahkan masih ada kapal-kapal wisata yang mengunjungi pulau-pulau kecil di sekitar Krakatau.

Begitupula dengan aktivitas nelayan dan kegiatan laut lainnya, erupsi kecil tersebut bukan dianggap sebagai pertanda buruk akan hadirnya sebuah bencana. Padahal letusan awalnya pada 20 Mei sebelumnya, telah membuat kontur medan pulau mengalami berbagai perubahan drastis.

Awan panas yang menjulang setinggi 11.000 km, terkonfirmasi sebagai tanda awal letusan puncak pada bulan Agustus. Lagi-lagi tidak ada rasa cemas, walau beberapa kali gempa terasa hingga pulau Sumatera. Walau usai erupsi di bulan Mei, tidak menunjukkan akan terjadinya letusan susulan yang begitu besar.

Pengamatan kemudian dilakukan oleh Angkatan Laut Belanda pada 11 Agustus, Kapten Ferzenaar mengamati bahwa ketiga kawah yang berada di pusat pulau justru menampakkan keaktifannya kembali. Justru dianggap melampaui apa yang terjadi sebelum bulan Mei. Begitulah hasil rekam peristiwanya, dimana Ferzenaar akhirnya menjadi saksi terakhir yang melihat pulau Krakatau secara utuh.

Tanggal 26 Agustus tercatat sebagai amuk pertama dari Krakatau. Masyarakat pun melihatnya sebagai aktivitas vulkanik biasa, dan dianggap seperti yang terjadi sebelumnya. Tetapi, hari itu seakan berbeda, karena nyaris setiap 10 menit sekali, terasa getaran gempa. Ditambah hujan abu disertai batu apung panas kerap berjatuhan, dan semakin masif.

Hingga membuat berbagai kawanan hewan liar terlihat keluar dan menyingkir dari daerah pesisir. Beberapa warga juga terlihat mulai mempersiapkan diri untuk mengungsi. Tetapi rata-rata urung dilakukan, karena waktu kala itu tengah memasuki senja. Khususnya bagi masyarakat di pesisir Banten. Seolah ada keraguan untuk segera mengungsi.

Terlebih, tidak adanya pengumuman resmi dari pejabat setempat mengenai erupsinya Krakatau, untuk proses evakuasi. Hingga pagi hari, kira-kira sekitar pukul 05.30, letusan maha dahsyat terdengar keras hingga ke wilayah selatan Sumatera dan Banten. Pagi hari, tanggal 27 Agustus, amuk Krakatau semakin menjadi, karena disertai dengan hadirnya gelombang tsunami.

Batu karang Krakatau menghantam mercusuar Anyer (bantenprov.sikn.go.id)

Awan panas dengan segera menutupi area Selat Sunda pagi itu. Langit pagi seolah menjadi malam yang kelam bagi masyarakat. Tidak ada jalan lain selain pergi sejauh mungkin. Tetapi semua tentu saja sudah terlambat, untuk cari selamat. Amuk Krakatau begitu besar, dan setara dengan ledakan 200 megaton bom nuklir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline