Di Nusa Tenggara Timur, kematian tidak pernah menjadi urusan pribadi semata. Ia adalah peristiwa kolektif, sebuah momen di mana masyarakat berhenti sejenak dari rutinitasnya untuk hadir secara utuh, fisik dan batin guna menemani mereka yang ditinggal. Duka di sini bukanlah ruang hening yang sunyi dan terasing, melainkan ruang sosial yang hidup. Ia adalah bagian dari siklus budaya yang mengikat manusia dengan sesamanya, dan dengan leluhur yang telah berpulang. Dalam tradisi itulah lahir sebuah praktik yang dikenal luas: mete yakni berjaga malam di rumah duka.
Bagi banyak masyarakat di NTT, malam-malam selepas kematian seorang anggota komunitas bukan waktu untuk menghindar, melainkan saat untuk mendekat. Di banyak wilayah seperti Timor, Rote, Flores, dan Sumba, tradisi mete menjadi tanda kehadiran sosial yang sangat nyata. Selama tiga hingga empat malam, warga akan datang dan berkumpul di rumah duka. Mereka duduk bersila di tikar atau bangku panjang, menyanyikan lagu-lagu duka atau rohani, berbagi cerita tentang mendiang, dan tak jarang juga tertawa lirih mengenang kenangan masa lalu. Kehadiran mereka bukan untuk mengisi kekosongan, tapi untuk menyatakan: "Kamu tidak sendiri."
Meski istilah "mete" mungkin tidak digunakan di semua wilayah, semangatnya merata. Di Rote misalnya, tradisi serupa hidup dalam bentuk yang lebih kaya struktur. Pada masa lampau, meski saat ini mungkin sudah jarang ditemui, masyarakat di sana mengenal tahapan upacara yang mendalam, seperti lakape (jamuan makan), mok bingga (ritual pemisahan arwah), tuna latek (pemadatan kubur), hingga natu buku balek, sebuah permohonan spiritual kepada arwah agar keluarga yang ditinggalkan diberkati. Setiap tahapan dijalankan dengan keterlibatan kolektif yang kuat, memperlihatkan bahwa duka bukan hanya tentang perpisahan, tetapi juga tentang penataan ulang hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada.
Apa yang terlihat dalam praktik-praktik ini sejatinya adalah refleksi dari nilai-nilai utama yang menjadi fondasi masyarakat NTT. Gotong royong menjadi tulang punggung. Keluarga duka tidak pernah dibiarkan mengurus segalanya sendiri. Warga secara sukarela memasak, menyumbang bahan makanan, menyediakan ternak untuk disembelih, atau sekadar hadir dan membantu menyiapkan tempat untuk para pelayat. Bahkan dalam kondisi ekonomi yang sederhana, kemurahan hati dalam masa duka tidak pernah menjadi beban, ia adalah kewajiban moral dan budaya.
Lebih dari itu, tradisi masa berkabung di NTT juga mengajarkan bentuk empati yang jarang ditemukan dalam masyarakat modern: ekspresi kesedihan yang tidak perlu disembunyikan. Di masa-masa mete, tangis adalah hal yang wajar, dan diam pun memiliki makna. Orang-orang datang tidak hanya untuk berbicara, tetapi juga untuk mendengar. Dalam lingkaran duka itu, tercipta ruang penyembuhan yang sunyi namun penuh makna.
Setiap wilayah di NTT tentu memiliki kekhasan masing-masing. Namun jika dilihat lebih dekat, ada benang merah yang menghubungkan semua praktik ini. Baik itu mete di Timor, perjamuan lakape di Rote, atau pemadatan makam di Flores, semuanya menunjukkan satu hal: masyarakat NTT menempatkan kematian sebagai bagian dari kehidupan yang harus dirawat dengan rasa hormat, keterlibatan, dan ketulusan.
Dan ketika masa duka berakhir, entah setelah upacara penutup, atau setelah arwah dianggap telah "berpisah" dari dunia ini, keluarga biasanya menyelenggarakan syukuran kecil. Ini bukan pesta, tapi simbol kembalinya mereka ke kehidupan sosial. Seperti sebuah ritus peralihan yang pelan-pelan membawa mereka keluar dari kabut kesedihan, menuju terang pengharapan.
Di tengah dunia yang makin individualistik, ketika duka sering dikurung dalam ruang-ruang privat dan diselesaikan secara personal, masyarakat NTT tetap mempertahankan tradisi yang membuat duka menjadi pengalaman bersama. Dalam kehadiran yang setia, dalam ritual yang dijalankan penuh hormat, dalam semangkuk sup hangat yang dibagikan di malam mete, di sanalah budaya ini menyatakan jati dirinya: bahwa manusia adalah makhluk sosial, bahkan (dan terutama) dalam kesedihan.
Tradisi masa berkabung di Nusa Tenggara Timur bukan sekadar warisan budaya. Ia adalah cermin dari cara hidup yang menghormati yang pergi, menguatkan yang tinggal, dan menyatukan yang hidup dalam jalinan solidaritas yang tak lekang oleh waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI