Lihat ke Halaman Asli

Harry Agus Yasrianto

Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Berau

Copet

Diperbarui: 22 September 2022   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit siang itu kurang bersahabat. Lagu sendu mewarnai hari-hari Indah. Murung. Merenungi nasib Uyab di jeruji. Menangisi pertemuan mereka. Menyesali waktu. Mengutuk nasib. Indah masih terduduk diam di bangku bis kota. Kendaraan di kiri kanan jalan seperti sedang berlari mengejarnya. Indah ingat, dirinya masih menyisihkan sedikit cerita membosankan. Pikiran gadis cantik itu melayang tidak karuan.

Dunia masih meranggas waktu siang ini. Kepulan asap. Semua menyesakkan. Knalpot motor. Mobil. Truk. Pick up. Semua berjalan beriringan. Menambal awan menjadi keabu-abuan. Mengarah ke hitamnya langit. Indah menaiki tangga bus antar kota. Menjejali hari dengan keceriaan. Mencari jalan terbaik. Melepaskan kejenuhan. Sendiri. Ya, Indah hanya sendiri. Tanpa ayah. Tanpa ibu. Tanpa adik-adiknya. Menatap keganasan ibu kota ini. Sendirian. Ya, hanya sendiri. Tidak ada yang dikenalnya sama sekali. Uyab tidak bisa lagi diandalkan. Dia harus membiayai semua keluarganya di kampung

“Sampai berapa lama aku akan betah di sini ?”, batinnya menyapa. Setahun menunggu Uyab terlalu menjenuhkan. Indah memutuskan untuk meninggalkan lelaki tak bertanggung jawab itu. Dia sengaja menyisihkan sedikit pendapatan. Menyelipkan rejeki di setiap jenjang waktu. Ada semacam keinginan untuk memperbaiki nasib, kembali ke kampung. Ada seperti bisikan. Mengajaknya menerawang. Sebuah batas pertanyaan yang harus Indah jawab. Melepaskan keraguan. Menitipkan doa. Semua telah terlepas. Dari apapun itu. Dari semua kegamangan. Semua tabungannya disimpang dalam ransel kecil dipundaknya. Masa depannya sudah mulai terlihat cerah. Wajah ayah, ibu dan ketiga adiknya pasti akan bahagia menyambut kehadirannya.

Macet. Sudah bukan kepalang. Bandit-bandit jalanan. Merebak sampai ke sudut-sudut kota. Menyusupi ruas-ruas jalan. Total. Tidak bergerak. Apapun alasannya. Apapun keinginannya. Semua harus memberanikan diri untuk bersabar.

“Masih kosong kok. Duduk saja”, Ajakan lembut dari seorang pemuda, nyatanya tidak mampu menahan guncangan bis kota. Bau keringat para penumpang sempat membuat Indah sedikit mual.

Wanita itu coba tersenyum. Dia memilih duduk di sebelah pemuda itu. Membereskan tas ransel kecil. Menutupi sebagian tubuhnya. Dia tahu, hampir semua lelaki di kota Jakarta ini kurang ajar, kecuali ayah dan adik bungsunya.  

“Hati-hati. Banyak copet.”, Bisik pemuda itu mengingatkan. Baru kali ini Indah keluar dari rumah majikannya. Biasanya, dia hanya menonton berita-berita di televisi. Benarkah ucapan pemuda ini, Para pencopet masih berseliweran di bus kota ? Wanita itu tidak bicara apapun.

“Kemarin, temanku kena.”, Ujar pemuda itu menambahkan.

Indah melirik ke arah pemuda itu. Wanita cantik itu memasang mimik standar. Sesekali matanya liar menatap sekeliling. Dia tidak mau tertipu untuk ke sekian kalinya. Cukup Uyab saja yang berhasil menipu hidupnya. Jangan sampai pemuda ini mengulanginya.

“Padahal sudah aku ingatkan,” Pemuda itu melanjutkan cerita. Kadang suaranya meninggi tatkala bus itu mengebut. Kadang lidahnya membasahi bibirnya. Indah tidak percaya itu semua.

“Coba kamu lihat pria yang berdiri di angka jam sepuluh,” Ujar Pemuda dekil itu pelan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline