Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Menguatnya Politik Identitas dan Jihad Salah Kaprah

Diperbarui: 24 Mei 2019   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (PIXABAY.com/GELLINGER)

Kontestasi politik di Indonesia kian menjerumuskan saat identitas, terutama identitas keislaman makin dikapitalisasi. 

Agama Islam yang seharusnya menjadi juru damai malah menjadi semacam badai.  Datang menghantam memporak-porandakan tatanan kerukunan. Cenderung membawa pada perpecahan, pada kehancuran.  Pernyataan di atas bukan bermaksud menista agama Islam karena sebenarnya sudah begitu jelas bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Agama yang membawa kedamaian bagi semesta alam. Namun, Islam yang datang untuk perdamaian berubah menjadi menakutkan karena ulah sebagian orang. 

Usai pemungutan suara 17 April silam, sentimen anti-Islam tak juga tenggelam. Terminologi-terminologi Islam pun bermunculan. Istilah jihad berkali-kali dikumandangka dan dimanifestasikan dengan gerakan massa turun ke jalan.  Bahkan, seorang pria mengucap takbir setelah sebelumnya mengancam akan memenggal leher Jokowi.  Tidak hanya itu, aksi 22 Mei 2019 disamakan dengan Perang Badar.  

Aksi ajakan turun ke jalan karena tak terima dengan kekalahan dikemas sebagai asli bela Islam. Aksi itu disebut jihad, jalan pedang membela Islam. Membelokan Definisi JIhad Bila sebelumnya jihad disalahgunakan oleh kelompok teroris, kini jihad sudah dimaknai secara politis. Sebegitu parah sebenarnya penodaan yang dilakukan mereka kepada ajaran Islam. Tak peduli Ramadan karena menurut mereka, Perang Badar pun terjadi saat Ramadan.  

Di Surabaya, seorang pria membuka pendaftaran Tur Jihad ke Jakarta. Ajakan tur ini sempat meresahkan publik. Pasalnya, para peserta tur digadang-gadang akan bergabung dengan aksi people power, 22 Mei di Jakarta.  

Seorang bocah mengaku sudah mencium bau surga di Jakarta. Foto si bocah dengan narasi siap melakukan jihad pada tanggal 22 Mei 2019 pun viral di media sosial. Bahkan seorang pilot pun menulis bahwa aksi 22 Mei 2019 adalah jihad. Bahkan sang pilot bersedia meninggalkan anaknya yang baru berusia satu tahun dan siap gugur. Ia juga meyakini apa yang dilakukannya adalah jalan Allah. Ia yakin betul, andai ia mati, jasadnya akan tersenyum. 

Konten-konten dengan narasi 22 Mei adalah jihad begitu mudah ditemukan di media sosial. Para politikus berhasil membakar semangat dan emosi masyarakat. Kepentingan politik yang dibumbui sentimen agama ternyata mampu menjaga militansi para pendukungnya. Tidak peduli jihad itu apa. 

Selama istilah jihad masih ampuh memobilisasi massa, maka cara itu akan terus digunakannya. Tidak peduli eksesnya rakyat terbelah.  Karena jangan lupa, pendukung Jokowi pun tak sedikit jumlahnya. Tapi semoga pendukung Jokowi tetap dapat berpikir rasional dan tidak terseret narasi jihad yang tak masuk akal. 

Jihad justru lebih mengarah pada usaha kudeta untuk merengkuh tampuk kuasa. Jihad menjadi alat ukur banci demi kepuasan pribadi. Padahal jihad adalah sesuatu yang mulia. Yang gugur di dalam jihad pun dilabeli gelar syuhada.  

Makanya ganjaran untuk jihad adalah surga. Namun, bila jihad semata dimaknai syahwat politik, maka Islam hanyalah gerombolan anak itik, digiring ke sana-kemari sesuai kepentingan pribadi.  Maka, gerakan 22 Mei 2019 yang mereka sebut dengan jihad adalah penghinaan atas Islam dan makna dari definisi jihad itu sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline