Nasib bangsa ini memang tidak selalu mujur. Setelah selama 350 tahun berada di bawah penjajah Belanda, Jepang yang mengaku saudara dari Timur justru menindasnya dengan tak kalah keras selama 3,5 tahun. Selepas dari penjajah bukan berarti pahitnya hidup bisa diakhiri dan kemakmuran bisa segera digali. Pertanyaan yang muncul terkait dengan fenomena ini adalah mengapa negeri tempat muslim terbesar di dunia bersujud justru menjadi negeri yang terpuruk seperti ini? Apakah ini telah menjadi takdir Allah? Apakah nasib bangsa yang terpuruk ini telah menjadi takdir atau semata-mata kesalahan manusia? Pertanyaan semacam ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman.
Pembicaraan tentang takdir, kalau dikaitkan dengan kebebasan manusia dalam berbuat sering menimbulkan polemik. Jika segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, mengapa manusia harus berusaha? Jika nasib apapun, baik maupun buruk, telah digariskan oleh Allah, mengapa Allah menciptakan neraka dan surga?
Pemahaman yang tidak tepat terhadap takdir, maka akan menimbulkan manusia yang jabbariyah (manusia tanpa kehendak). Sementara ketidakpercayaan pada adanya takdir akan menimbulkan manusia yang qadariyyah (manusia yang bebas berkehendak). Oleh karena itu, dalam kesempatan
Dalam kamus bahasa arab karya Mahmud Yunus kata takdir berasal dari kata qadara yang artinya ketentuan, sesungguhnya Allah telah menentukan suatu perkara atas kehendaknya. Sedangkan kata qaddara dengan tambahan tasydid diartikan dengan Allah telah menjadikan seseorang itu berkuasa melakukan sesuatu dengan kadarnya atau kemampuannya.
Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."
Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, Allah menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. Takdir sering dipahami sebagai segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah untuk segala yang ada, yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi. Dalam al-Quran definisi semacam itu selaras dengan penggunaan kata qadar yang berarti kekuasaan Allah untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-undang terhadap segala sesuatu, termasuk hukum sebab akibat yang berlaku bagi segala yang maujud, baik makhluk hidup maupun mati sebagaimna dalam surat al-Hijr ayat: 21 dan ath-Thalaq ayat: 3.
Takdir adalah segala yang terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi, telah ditentukan oleh Allah , baik sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. Segala sesuatu yang terjadi atas rencananya yang pasti dan tentu, yang mana terjadinya atas kehendak --Nya. Namun, manusia diberi hak untuk berusaha sekuat tenaga, Allah lah yang menentukan.
Takdir merupakan sebuah ketetapan Allah yang meliputi segala kejadian yang terjadi di alam ini baik itu mengenai kadar dan ukurannya, tempat maupun waktunya. Hal ini menunjukkan takdir sebagai tanda dari kekuasaan Allah yang harus kita yakini. Allah telah menetapkan kadar, ukuran atau batas tertentu pada diri, sifat dan kemampuan makhluk-Nya. Semua makhluk Allah telah ditetapkan takdirnya dan Allah menunjukkan arah yang mereka tuju. Seperti yang tercantum dalam surat Al-A'la ayat: 1-3
Takdir itu bukanlah hal yang ghaib dan misterius yang bisa kita terima begitu saja, tetapi Takdir itu merupakan suatu keharusan bagi kita untuk mempelajarinya dan menelitinya. Takdir merupakan ketentuan Allah atas apa yang terjadi di alam ini. Apa yang terjadi sekarang, besok dan seterusnya sudah ditentukan jauh sebelum Allah menciptakan alam ini.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, apa yang terjadi di alam ini merupakan hukum alam, dalam hal ini biasa disebut sunnatullah.
Dalam hal ini Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Quran tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir.