Lihat ke Halaman Asli

Hanung Abdul Muqiit

Korean Drama and Javanese Culture Enthusiast

Menghayati "Ladrang Santi Mulya" sebagai Simfoni Optimisme di Tengah Keprihatinan Pandemi

Diperbarui: 23 Juli 2021   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Ki Nartosabdo

Sudah semestinya kita bosan mendengar kabar duka yang tersiar di status WhatsApp atau toa Masjid. Sudah selayaknya kita capek dengan keluh kesah warga yang menjerit mencari donor plasma, oksigen, dan kebutuhan isolasi mandiri. Sudah sewajarnya kita jenuh dengan percaturan publik mengenai politik yang makin hari membuat kita semakin jijik. Sudah sewajarnya kita bosan mendengar kabar duka.

Belakangan, penambahan kasus positif melonjak dan pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat dengan ketat. Hal ini membuat kegaduhan di lapangan maupun dunia digital. Media sosial penuh dengan luapan emosi masyarakat mulai dari tindakan aparat yang tidak humanis, seruan untuk memberi makan dan mencukupi kebutuhan rakyat, sampai ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.

Semua itu mencerminkan keprihatinan kita sebagai warga negara Indonesia yang sedang berjuang bersama menghadapi pandemi COVID-19. Keputusasaan kita ini tidak akan berujung manis jika kita tidak membangun optimisme untuk bersama memenangkan perang dengan musuh yang tidak tampak ini. Optimisme ini akan membangun motivasi dan melahirkan solidaritas dalam masyarakat. Kebanyakan optimisme yang dibangun adalah menilik penanganan COVID di negara lain yang telah berhasil menekan laju penyebaran virus. Optimisme yang semacam ini hanya membuat iri dan semakin memprovokasinya untuk saling tuding untuk mencari siapa yang salah. 

Sebuah lagu tradisional mengingatkan saya dalam lamunan. Meskipun diciptakan berpuluh-puluh tahun yang lalu, syair lagu ini bila dihayati sangat terelevansi untuk membangun optimisme di tengah keprihatinan pandemi.

Ladrang Santi Mulya Laras Pelog Pathet Lima. Merupakan lagu karawitan jawa yang berbentuk ladrang. Diciptakan oleh maestro karawitan Ki Nartosabdo. Laras dan pathet yang digunakan adalah Laras Pelog Pathet Lima meskipun ada juga yang menyatakan/menyajikan dalam pathet nem. Pathet ini bagi saya pribadi merupakan pathet favorit saya dalam karawitan karena membawa suasana wibawa, agung, dan teguh. Berbeda dengan Pathet nem yang luwes atau pathet barang yang riang.

Lagu ini dalam penggunaannya sering disajikan secara individual ataupun beriringan dengan lagu lain dalam pementasan uyon uyon/klenengan karawitan. Dalam pentas pagelaran wayang kulit, lagu ini digunakan saat adegan Jengkar Kedhaton atau saat pertemuan kerajaan selesai dilakukan dan para petinggi kerajaan berangkat untuk mengeksekusi perintah raja.

Syair dalam lagu ini sebagai berikut:
Santi mulyo, santi mulyo
Luhur mulyaning negara
Indonesia pasthi jaya
Tarlen saking golonging sedyatama
Manunggal mrih santosa, cipta rasa budi karsa
Gumelare memayu hayuning bangsa
Basuki yuwana, sirna papa sangsaya
Sampurnaning bebrayangung Pancasila
Mangambar gandanya arum, Indonesia langgeng merdika.


Saya akan mencoba mengartikan serta menjabarkan penghayatan makna optimisme yang saya maksud di awal tulisan ini sesuai dengan pemahaman yang saya miliki.

Santi Mulya, Santi Mulya
Baris pertama sekaligus menjadi nama/judul dari lagu ini. Santi berarti pujian, doa, dan harapan (Sesanti), Mulya berarti mulia atau kemuliaan. Baris ini menyerukan doa keselamatan, dan tidak hanya sekali namun diulang dua kali yang menandakan keseriusan dan urgensi bait bait selanjutnya sampai syair ini selesai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline