Lihat ke Halaman Asli

Cemeti

Diperbarui: 21 Juli 2017   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I can not teach anybody everything

I can only make them think

 

Berada di dalam ruangan ini membuat saya terlempar ke sebuah masa ketika dahulu saya dan ratusan teman lain sedang mengikuti kuliah di STFK Ledalero. Jika deskripsi semacam ini agak teknis, bayangkan saja ketika Kelompok Menulis di Koran (KMK) Ledalero mengadakan diskusi. Tidak ada kursi dan touch screen, kecuali tema dan tujuan. Semua peserta duduk bersila di lantai. Di tangan, paling kurang ada buku tulis dan balpoint. Sementara itu, terjadi keributan luar biasa di dalam isi kepala mereka.

Beberapa hari kemudian, muncul sebuah artikel di media massa lokal, sebut saja, "Rendahnya Budaya Menulis dalam Lingkungan Kampus". Tidak semua orang tahu, tulisan itu lahir dari semacam diskusi dan silang pendapat yang tidak biasa. Setelah membaca tulisan itu, beberapa orang menganggukkan kepala, ada yang menepuk dada tanda penyesalan, bahkan tidak jarang beberapa yang lain meremas koran karena gemas. Anehnya, ada yang menganggap hal itu biasa-biasa saja. 

Lalu muncul pertanyaan, "Mengapa sangat sedikit sekali mahasiswa perguruan tinggi di Flores yang menulis"? Jangan bayangkan alibi agung semisal, menulis demi konsumsi pribadi, menulis status di medsos interaktif, dan menulis skripsi (yang tidak jarang lebih banyak blundernya itu). Jangan! Itu memalukan. Rasa gemas saya sering muncul dari alasan lucu semacam itu. Solusi mengatasi persoalan ini, saya kira begitu sederhana. Kalau kau malas membaca, setidaknya rajin-rajinlah berdiskusi. Syukur-syukur jika kau berminat pada dua-duanya. Bagaimana kalau seandainya kau tidak berminat?

Saya kira, kau butuh cemeti!

Semua orang butuh cemeti. Mungkin itu kesan awal yang saya dapat dari sebuah pertemuan yang sederhana namun secara intelektual begitu memikat. Bersama dua orang kawan, saya menghabiskan waktu sepanjang Kamis sore, 20 Juli 2017 di Cemeti, Institut untuk Seni dan Masyarakat yang terletak di Jalan D.I Panjaitan 41 Yogyakarta. Diskusi pada hari itu menghadirkan dua orang "sableng", Wahmuji dengan topik bahasan tentang "Politik bahasa dan perkembangan sastra dalam perspektif pascakolonial" dan satunya lagi (kalau tidak salah dia salah satu orang yang paling saya keep knowing particular object (kepo) di facebook), Mahfud Ikwan. Saya tidak menyangka, penulis novel "Kambing dan Hujan" yang menjadi salah satu pemenang Sayembara DKJ tahun 2011 itu begitu cool (dalam artian berpenampilan sederhana) ketika berbicara di depan banyak orang. Beliau membawakan materi seputar kepenulisan yang ia kemas dalam sastra pascakolonial.

Jangan bayangkan bahwa konteks diskusi pada hari itu sangat formal plus protokoler dengan sistematika yang ruwet. Peserta dan narasumber berbicara dengan bahasa yang sangat sangat sederhana. Meskipun demikian, jangan bayangkan bahwa isi pembicaraannya sangat mudah. Tidak! Paling kurang ada dua hal yang mesti kau tanamkan dalam kepalamu jika ingin menghadiri diskusi tentang tema apa pun di Yogyakarta. Pertama, kau harus menggeluti disiplin ilmunya, atau paling kurang berminat. Kedua, kau mesti siap "dibantai" kalau berargumentasi.

Paham Disiplin Ilmu

Ini bukan perkara mudah tetapi sebenarnya justru itulah yang rasional. "Memangnya kau siapa sampai-sampai getol membela Pancasila jika kuliah filsafat pancasila saja kau belum pernah". Saya sama sekali tidak naif dan menganggap bahwa hanya orang yang sudah kuliah hukum yang boleh bicara persoalan hukum. Namun, maksud dari "pernyataan sombong" di atas yakni, kau mesti paham betul apa yang kau bicarakan itu baik sistematika, metodologi, asosiasi, dan konteks maupun komposisi gagasan. Jika tidak kuliah jurusan itu, paling kurang kau paham. Kira-kira begitu. Sumpah! Bagi saya, itulah cemeti, cambuk yang membuat kuda berlari lebih cepat. Itulah cemeti, cambuk yang membuatmu tidak nyaman sejak dalam pikiran. Jika kalian pernah menonton serial Wiro Sableng episode "Misteri Cambuk Api Angin", pasti akan paham.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline