Lihat ke Halaman Asli

Hamdanul Fain

Antropologi dan Biologi

Cerpen | Pawang Asap

Diperbarui: 1 Oktober 2019   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kompas.com


"Cepatlah datok, ayo cepat!" ujar Syamsuddin sambil menyeret Datok Abdul Aziz.

Datok Abdul Aziz terkejut diseret paksa pemuda berhidung besar yang tumben-tumben dijumpainya.

"Sudah makan ratusan korban ini, asap semakin menggila sampai tak punya muka kita dibuat pada negara tetangga, datok harus bertindak!" pinta Syamsuddin.

Dengan motor tujuh puluh yang kinclong dan terawat, keduanya melaju menuju balai kota dengan kecepatan alakadarnya.

...

Di gerbang balai kota negeri zamrud katulistiwa, inilah satu-satunya di dunia, dua orang berkendara motor tujuh puluh atau yang biasa mereka sebut motor "ciketer" disambut ribuan jiwa dengan karpet merah.

Datok Aziz baru sadar, si hidung lebar yang membonceng ternyata walikota yang populer seantero negeri. Sempat ditawari jadi presiden tapi menolak karena tanggungjawabnya belum selesai sebagai walikota. Kurang ajar benar datok Aziz bisa-bisanya ia tak kenal walikotanya sendiri. Tapi apa mau dikata, jerih payah walikota disangka presiden saja yang berjasa.

...

"Saudaraku sekalian. Bersama saya ada Datok Abdul Aziz yang kalian yakini sebagai pawang asap. Untuk memenuhi permintaan kalian, saya jemput sendiri ke rumahnya." Syamsuddin membuka pidatonya. Tidak ingin berlama-lama, kini giliran Datok Abdul Aziz.

"Saya Abdul Aziz. Bukan pawang asap lagi. Sudah pensiun dan menjalani hidup yang lebih berkah." bicara dengan enteng.

Sontak ribuan jiwa di balai kota kaget. Kesal, sedih, kecewa campur aduk. Padahal mereka berharap supaya Datok Aziz mengusir asap sesegera mungkin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline