Di Labala, sebuah wilayah di pesisir selatan Pulau Lembata, setiap hajatan selalu membawa riuh khas yang sulit dijumpai di tempat lain. Entah itu pesta pernikahan, syukuran, atau upacara kematian, dapur menjadi pusat kegiatan sosial yang paling hidup. Di sanalah para lelaki mengambil alih peran yang tidak biasa di banyak tempat lain. Mereka bertugas memasak daging, memotong, mengolah, dan memastikan seluruh tamu yang datang dapat menikmati hidangan yang layak dan melimpah.
Pemandangan ini bukan sekadar rutinitas sosial. Ia adalah simbol kehormatan dan tanggung jawab. Laki-laki yang memasak daging di hajatan tidak sedang bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjaga nama baik keluarga dan komunitasnya. Setiap potongan daging yang dimasak mencerminkan nilai solidaritas, kehangatan, dan penghargaan terhadap tamu serta leluhur. Di dapur hajatan Labala, api yang menyala bukan hanya untuk memasak, tetapi juga untuk menyalakan semangat kebersamaan.
Tugas memasak daging di Labala umumnya tidak diberikan kepada sembarang orang. Hanya mereka yang dianggap berpengalaman dan memiliki ketenangan hati yang dapat dipercayakan untuk mengatur dapur besar. Dalam tradisi setempat, kesalahan dalam memasak dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian terhadap kehormatan keluarga. Karena itu, peran ini lebih menyerupai amanah sosial. Laki-laki yang memegang kendali atas tungku besar tidak hanya bekerja dengan tenaga, tetapi juga dengan rasa hormat terhadap adat.
Salah seorang pemasak daging hajatan yang handal dari desa Labala Leworaja (Sumber: Penulis, 2025)
Dalam konteks hajatan kematian, kehadiran para lelaki di dapur membawa makna tersendiri. Mereka memasak daging dengan kesadaran akan duka, namun tetap menjaga ritus penghormatan terhadap almarhum. Suasana dapur menjadi ruang di mana kesedihan dipeluk dengan kebersamaan. Sementara pada pesta pernikahan, aroma daging yang dimasak menjadi penanda sukacita dan harapan baru bagi pasangan yang melangkah ke kehidupan bersama. Dalam kedua situasi ini, laki-laki berperan sebagai penjaga keseimbangan antara rasa kehilangan dan rasa syukur.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa konsep “dapur” dalam masyarakat Labala tidak dibatasi oleh gender secara kaku. Laki-laki dan perempuan sama-sama berperan, meski dalam ruang yang berbeda. Perempuan biasanya mengurus bumbu dan perlengkapan kecil, sementara laki-laki menangani pekerjaan berat seperti memotong daging dan menjaga tungku api. Pembagian ini bukan bentuk ketimpangan, melainkan bentuk kerja kolektif yang saling menguatkan.
Menariknya, peran laki-laki sebagai juru masak daging telah menjadi bagian dari identitas sosial di Labala. Dalam percakapan sehari-hari, sering muncul kebanggaan tersendiri saat seseorang disebut “ahli dapur hajatan.” Gelar ini tidak hanya menandakan keterampilan memasak, tetapi juga integritas sosial. Di balik setiap panci besar yang mendidih, tersimpan nilai tentang tanggung jawab dan keikhlasan.
Salah seorang pemasak daging hajatan yang handal dari desa Labala Luki (Sumber: Penulis, 2025)
Dalam dunia modern yang serba cepat, tradisi seperti ini sering kali dipandang sederhana. Namun bagi masyarakat Labala, ini adalah bagian dari sistem sosial yang menjaga keseimbangan antarwarga. Ketika para lelaki berkumpul di dapur, mereka tidak sekadar memasak, tetapi juga mempererat hubungan, menyelesaikan perbedaan, dan meneguhkan makna gotong royong yang sesungguhnya.
Refleksi dari tradisi ini menggugah kesadaran bahwa kerja bersama bukan hanya soal siapa yang kuat atau pandai, tetapi siapa yang mau hadir dan berkontribusi. Laki-laki yang berdiri di depan tungku api dalam hajatan di Labala mengingatkan kita bahwa kehormatan dan kebersamaan tidak pernah lahir dari kata-kata, melainkan dari tindakan nyata. Di tengah asap dapur yang mengepul, api kecil itu terus menjaga nyala kemanusiaan.