Lihat ke Halaman Asli

Hajad Priyadi

Guru SMK HangTuah 2 Jakarta

Air Mata di Malam Maulid

Diperbarui: 8 September 2025   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Dok.Pribadi (AI Generated)

Air Mata di Malam Maulid

Malam itu, desa kecil di pinggir kota sudah ramai sejak sore. Dari kejauhan, suara bedug ditabuh anak-anak, bercampur dengan lantunan shalawat yang menggema lewat pengeras suara masjid. Lampu-lampu hias dipasang melingkari halaman masjid, berkelap-kelip menambah semarak suasana. Ibu-ibu menyiapkan nasi berkat, bapak-bapak sibuk menata kursi, sementara anak-anak berlari kesana kemari sambil membawa bendera kecil.

Fauzan berdiri di pinggir jalan, memperhatikan semua itu dengan wajah heran bercampur sinis. Sejak ia pulang kuliah dari kota, pikirannya memang sering bertanya-tanya. Tradisi yang dilakukan masyarakat desa dianggapnya tidak selalu sesuai dengan logika.

"Kenapa sih harus begini? Rasanya berlebihan. Rasulullah tidak pernah peringati hari lahirnya sendiri. Kalau mau shalawat, kan bisa setiap hari," gumamnya dalam hati.

Ibunya, yang melihat Fauzan berdiri melamun dari teras rumah, hanya tersenyum. Sambil membungkus kue untuk dibawa ke masjid, ia memanggil anaknya.

"Fauzan, ikutlah ke masjid. Jangan cuma berdiri di situ."

Fauzan menggeleng pelan. "Bu, buat apa? Saya kurang setuju dengan acara begitu."

Ibunya menatap Fauzan sebentar. "Nak, kadang orang terlalu sibuk berpikir, sampai lupa bahwa hati juga butuh ikut bergembira. Ini bukan masalah hukum atau tidak hukum. Ini tentang rasa cinta. Kau pikir, salahkah orang yang senang ketika Nabi lahir?"

Fauzan diam. Ia merasa ibunya benar, tapi logikanya masih memberontak. "Nanti saja, Bu. Saya ke masjid kalau hati saya sudah siap."

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline