Lihat ke Halaman Asli

Tinjauan Metakognisi Upacara Bendera

Diperbarui: 13 Maret 2017   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi tadi Saya ikut serta menyaksikan putri tercinta menjalani perannya sebagai dirijen dalam.upacara bendera. Saya begitu antusias menjempret kamera handphone sekaligus merekamnya. Meskipun upacara di level SD, tetapi bagi Saya hal tersebut begitu penting.

Beberapa hari sebelumnya, Saya dan istri secara estafet melatih putri tercinta melakukan peran sebagai dirijen, kami memutarkan lagi Indonesia Raya, lagu mengheningkan cipta secara terus menerus. Saya dan istri menyampaikan kebanggaan atas terpilihnya putri kami, kami menyampaikan menjadi dirijen adalah sesuatu yang menyenangkan. Meskipun, dalam prakteknya, dirijen hanya sebagai acting, karena yang menyanyikan sebenarnya tidak mengikuti dirijen, justru sebaliknya. 

Saat upacara dimulai, ternyata ada beberapa orang tua begitu antusias menyaksikan upacara, bahkan ada yang meminta hasil jepretam saya. Tak terlihat raut wajah lelah, karena harus bangun pagi demi mengikuti gladi resik. Tak tetlihat wajah marah, saat ada satu dua kesalahan dilakukan saat upacara oleh putra putri tercinta. 

Saya bersyukur, karena beberapa tahun yang lalu keputusan memindahkan sekolah anak Saya tepat, di sekolah swasta dahulu, tidak ada upacara bendera, sehingga tidak akan ada tulisan ini.

Setelah berpikir sejenak, alhamdulillan saya diberi pembelajaran atas kejadian upacara bendera putri tercinta. Upacara yang waktu dahulu pernah saya alami merupakan kegiatan yang membosankan. Kegiatan yang membuat turunnya mood belajar. 

Bahagianya anak saya dan teman sekelas sebagai petugas karena dalam benaknya sudah dibangun kegiatan ini membanggakan, kegiatan ini sangat penting. Akhirnya, saat akan melakukan kegiatan, capek fisik tidak dianggap sebagai hal yang utama. Memang, mereka kepanasan, mereka lelah karena bangun pagi, namun hal itu dianggap sebagai sebuah proses mendapatkan kebanggaan. 

Saya bisa paham, mengapa teman-teman paskibra begitu bangga dan sukacita melakukan latihan. Meskipun ada berita temannya masuk rumah sakit karena mengidap tipus, akibat tubuh yang kelelahan. 

Namun, sayangnya dalam upacara bendera hanya sebagian yang begitu antusias, mayoritas anak-anak kelelahan, mengobrol, tidak konsen dan ulah lainnya. Upacara bendera diaggap sebagai panggung pelaksana dan pembina upacara. Hal ini sungguh memperihatinkan, karena upacara menjadi kehilangan marwah saat pesertanya tidak memperhatikan. Kumandang lagi Indonesia Raya menjadi kurang berwibawa saat ada begitu banyak yang mengacuhkan.

Tradisi upacara harus dilakukan setiap Senin oleh seluruh anggota organisasi menjadi hal yang kontra produktif untuk sebuah kegiatan yang harusnya sakral. Jika saja, upacara dilakukan setiap hari dilakukan secara bergantian oleh peserta. Andai saja seluruh hadirin memaknai tinggi upacara, maka pesan dalam pembukaan UUD 1945, janji siswa, lagu nasional dapat lebih mudah tercapai. Jika saja acara dilakukan di ruang yang lebih nyaman, hasilnya bisa berbeda.

Kadangkala, rutinitas membuat kita melupakan esensi. Upacara bendera dilakukan sebagai sebuah kegiatan yang harus dilakukan, kegiatan yang wajib, kegiatan yang sudah ada sejak dulu, dan lain sebagainya. 

Suka tidak suka, penanaman nilai kebangsaan tidak boleh melawan akal sehat. Anak SD yang kehilangan fokus karena terlampau lama mendengar amanah pembina upacara, terik matahari, beceknya lapangan, menyanyikan agu nasional yang terlampau kaku, pembacaan janji siswa, pembukaan UUD 1945 yang dilakukan laksana militer pastinya membosankan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline