Apapun makanannya, mungkin teh Sosro atau teh Pucuk adalah minumannya. Begitulah jargon yang sering kita dengar di iklan televisi. Tetapi bagi saya, di manapun tempatnya, aroma Teh Dandang selalu membawaku serasa mudik ke Kutoarjo.
Sensasi olfaktori yang kuat ini sungguh ajaib. Tak peduli apakah saya sedang terjebak macet dan teriknya Surabaya, atau ketika menikmati dinginnya Bajawa, satu seduhan teh Dandang mampu menerbangkan pikiran saya ke kampung halaman ayah di Jawa Tengah.
Memang, produk legendaris asal Pekalongan ini kini sudah mudah didapatkan. Beberapa jenisnya, seperti teh hijau, teh hitam, teh melati (jasmine), teh putih, dan teh oolong, telah mengisi rak-rak swalayan di berbagai kota metropolis. Namun, aroma teh melatinya yang pekat dan khas itulah yang pertama kali saya rasakan dan sesap nikmatnya di sana.
Aromanya bukan hanya wangi bunga, melainkan bau keakraban, bau kayu bakar, dan bau rumah lama Mbah Buyut.
Saya ingat betul, Mbah Buyut, ketika masih hidup dua dekade silam, selalu menyiapkan seduhan Teh Melati Dandang sebagai pelengkap hidangan sarapan, alih-alih kopi hitam. Beliau, juga sering membawakan satu bal besar Teh Dandang melati sebagai oleh-oleh setiap kali beliau ke Surabaya.
Oleh-oleh itu bukan sekadar teh, melainkan kapsul waktu yang membawakan sepotong Kutoarjo ke rumah kami. Aroma ini adalah musik yang punya cerita, dan ia selalu berhasil membuat saya melayang mudik. Aroma ini adalah representasi paling jujur dari kampung halaman.
Karakteristik dan Kisah Historis di Baliknya
Setiap merek teh pasti memiliki karakteristik dan keunggulan rasa masing-masing. Mereka bersaing dengan kadar kepekatan, warna seduhan, hingga kompleksitas aroma yang ditawarkan. Namun, bagi para penikmat teh, yang membuat sebuah merek teh terasa istimewa bukanlah sekadar angka-angka di kemasan, tetapi cerita yang menempel erat di baliknya.
Untuk Teh Dandang, mungkin akan sedikit debatable jika dikatakan sebagai teh yang paling nikmat di Indonesia, karena setiap orang punya preferensi rasa yang berbeda. Tetapi, saya berani memastikan bahwa teh inilah yang paling melekat secara historis di benak banyak orang Jawa Tengah, termasuk keluarga besar saya di Kutoarjo.
Teh Dandang bukanlah minuman kekinian yang muncul dan hilang seiring tren; ia adalah warisan. Ia bukan sekadar pemuas dahaga, melainkan simbol budaya. Karakteristik rasanya yang pekat dan 'medok', berpadu dengan aroma melati yang kuat, seolah menciptakan rasa yang sudah akrab dengan lidah generasi ke generasi.
Teh ini mewakili kehangatan dan kesederhanaan. Seduhan Teh Dandang yang disajikan dalam cangkir kecil di rumah Mbah Buyut selalu menjadi pembuka setiap perbincangan. Ia adalah kawan setia yang mendengarkan tawa, keluh kesah, hingga renungan malam. Rasa sepatnya yang seimbang dan aromanya yang menenangkan membuat momen berkumpul terasa lebih substansial dan bermakna.