Lihat ke Halaman Asli

Yakob Godlif Malatuny

Kata-kata lisan terbang bersama angin, sementara tulisan abadi.***

Demokrasi Republik Hari-hari Ini

Diperbarui: 15 November 2018   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : jayantaranews.com

REPUBLIK hari-hari ini. Ada yang mengaku memperjuangkan demokrasi namun menyebarkan kebohongan, kebencian, intimidasi dan diskriminasi. Ada yang dewasa menerapkan nilai-nilai demokrasi di ruang publik namun melakukan transaksi kekuasaan secara personal dalam ruang tertutup. Ada yang berkomitmen melakukan tukar tambah kekuasaan atas dasar kalkulasi ideologis namun diam-diam berbalik arah semata-mata karena oportunisme individual.

FENOMENA buruk ini meyakinkan kita semua, bahwa sesungguhnya mereka sedang memamerkan kebodohan dengan rasa bangga. Entah, sampai kapan kita bisa move on dari praktik demokrasi seperti ini. Meskipun Fuady (2010) mencatat demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini. Namun, praktik demokrasi di republik hari-hari ini tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis.

Memang benar kata Yudi Latif (2015) bahwa demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme).

Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat. Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadobsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi segenap kewargaan Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi.

Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Demokrasi tak lagi menjadi sarana afektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana afektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).

Mungkin pembaca merasa hal ini berlebihan, dibesar-besarkan, dan tendensius. Namun saya meyakini, potret demokrasi dalam republik hari-hari ini masih terlihat menjengkelkan, karena praktiknya masih dipenuhi keributan dan pertengkaran. Lantas, demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa kapan diwujudnyatakan?

Usaha Bersama

Demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Namun, perlu dicatat bahwa demokrasi yang diciptakan oleh manusia bukanlah sistem yang sempurna, karena kesempurnaan hanya ada di surga.

Apapun yang terjadi Indonesia harus percaya demokrasi yang dipraktikkan dengan berbagai variasi. Demokrasi adalah ruang terbuka yang hidup dan hidupkan oleh seluruh rakyat. Dan itu membutuhkan usaha anda, ikhtiar saya, dan usaha kita semua melalui tiga tindakan.

Kesatu, merawat demokrasi dengan cara tidak menggunakan hak berbicara untuk menghujat sesama, tidak menggunakan kebebasan untuk mengeruh keuntungan, tidak menggunakan hak berserikat untuk menggilas yang berbeda, tidak menggunakan politik sebagai ruang untuk membuat keributan dan pertengkaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline