Lihat ke Halaman Asli

Gay Cerdas

Cuap pemikiran & edukasi seputar LGBT

Ketika Korban adalah Pelakunya

Diperbarui: 6 April 2019   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sungguh ironis sekali yang katanya negara hukum bahkan tertuang pada Pancasila mengenai keadilan tapi mental warganya malah ingin menghilangkan hukum & keadilan itu sendiri dengan menciptakan narasi yang membingungkan yaitu "victim blaming" yang menjadi cikal bakal rasisme dan ketidakadilan sosial pada masyarakat kulit hitam di Amerika

Pertama akan saya bahas dulu mengenai fenomena victim blaming sendiri dimana kasarnya "menyalahkan korban baik sepenuhnya atau sebagian atas tindakan kriminal yang terjadi kepada korban", di Indonesia sering sekali terjadi seperti ini dan sebagian besar adalah "alasan moral" seperti:

- Pakaian korban penyebab sumber si pelaku ingin memerkosa korban (siapa suruh memakai pakaian terbuka)

- LGBT yang jelas-jelas kondisi dari lahir yang tidak bisa diubah adalah sumber si pelaku membully korban (siapa suruh jadi LGBT)

Dan untuk diluar masalah moral salah satu contohnya:

- Harta benda korban menyebabkan si pelaku ingin mencuri harta benda korban (salah sendiri pakai perhiasan mencolok di muka umum)

Walau secara sepintas ada benarnya kalau memakai standar "cause and effect (sebab akibat)" tapi kalau dipikir lebih dalam lagi sampai masuk ke lubng black hole pasti ada yang janggal, diantaranya:

1. Efek sebab akibat tidak memandang moral, sedangkan manusia punya nilai moral sebagai bagian dari empati, sosial & budaya sebagai "rantai" agar tidak sembarangan bertindak. Sehingga menggunakan efek sebab akibat sebagai landasan moral buat nge-victim blaming maka hal itu akan menjadi paradoks yang sungguh ironis, secara victim blaming dengan dalih moral menggunakan penjelasan yang tidak mengenal moral?

2. Ketiadaan keadilan & hukum. Bila victim blaming mau dijadikan tolak ukur dalam menyelesaikan tindak kriminal maka siapa yang jadi korbannya, dan siapa yang jadi pelakunya? Sedangkan sepengetahuan saya namanya "tindak kriminal" maka yah patokannya adalah "act/action(tindakan)" terlepas apa "driven/pendorong" nya. 

3. Menambah bahkan luka psikologis korban. Jangan ditanya ketika seseorang menjadi korban otomatis mengakibatkan "luka psikologis" buat korban, dan ketika si korban divonis bersalah sebagai "driven source of perpetrator" pastinya akan memperparah luka tersebut 

4. Penegak keadilan is the pelaku". Walaupun ini masuk kategori "jump to conclusions" cuman untuk penjelasannya seperti ini: Dalam masyarakat yang sudah keracunan "us vs them" kan umum tuh special pleading "kelompokku selalu jadi korban walaupun dia pelaku sedangkan kalau kelompok lain jadi korban itu salah mereka karenanya jadi korban", sehingga bisa saja tuh penegak keadilan tersebut satu kelompok ama si pelaku sehingga memakai victim blaming buat pembenaran tindakan si pelaku yang didukung si penegak keadilan :p

Jadi, masihkah ingin menyatakan bahwa korban tindak kriminal sebagai pelaku pendorong pelaku kriminal berbuat kriminal? Think again




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline