Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Anak Indonesia yang Bodoh?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327291904887066372

[caption id="attachment_157880" align="alignleft" width="300" caption="yohanessurya.com"][/caption] Prof. Yohanes Surya, “ tidak ada anak Indonesia yang bodoh”. Adalah sebuah kalimat yang membangkitkan semangat dan motivasi, masih ada sepercik harapan tentang masa depannegeri ini. Prof. Yohanes buktikan dengan mencetak anak-anak negeri ini menjadi juara-juara olimpiade Internasional di bidang Fisika.

Ketika ingin anak-anak yang berasal dari provinsi Papua menjadikan juara olimpiade, pada awalnya menjumpai masalah, karena persyaratan yang diajukan adalah IQ minimal harus 140. Ternyata sulit untuk ditemukan dengan persyaratan tersebut, akhirnya secara acak diambil 27 anak Papua. Setelah dibina oleh Surya Institut, hasilnya luar biasa, mereka siap untuk diterjunkan di Olimpiade (pernah disiarkan pada acara Kick Andy).

Ada beberapa catatan yang mungkin dapat untuk kita renungkan bersama, antara lain adalah:

1.Kalimat “tidak ada anak Indonesia yang bodoh”, sebuah kata optimis dan semangat nasionalis yang seharusnya dimiliki dan dijiwai oleh guru-guru, di negeri ini. Semangat untuk “memintarkan” anak didik harus selalu menjadi fikirannya.

2.“Sebodoh” apapun anak didik, kalau di “ajar” oleh guru yang baik/pintar, bermotivasi maka akan menghasilkan anak-anak didik yang pandai. Jadi dalam kasus meningkatkan kwalitas pendidikan yang lebih penting adalah menjadikan guru yang baik dan bermotivasi (ingat bahwa sertifikasi guru tujuannya adalah memprofesionalkan guru).

3.Atau Olimpiadenya yang seharusnya hanya cukup diikuti oleh anak yang “bodoh”.Sebenarnya perlu direnungkan bersama, mengapa yang menjadi juara olimpiade ini selalu dari Negara yang berkembang? Kok bukan anak dari negara maju (Jepang, Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain)? Dan ketika masuk ke tingkat pendidikan tinggi, negeri ini jauh ketinggalan. Bangsa kita tingkatnya hanyalah tingkat operasional (TKI intelektual), bukan menegerial. Mana anak-anak kita yang dulu juara olimpiade, menjadi apa? Ini perlu kita renungkan.

4.Jadi perlukah kurikulum kita berfakus ke olimpiade? Haruskah anak-anak kita belajar ilmu “olimpiade” jam 07.00 sampai jam 15.00, sementara banyak ilmu-ilmu yang harus dipelajari dengan cara berinteraksi dengan masyarakat. Dan haruskan mengorbankan dunianya (dunia bermain) hanya karena salah orientasi pendidikan kita?

Sebagai guru, ayo bersemangat, “mencerdaskan, memintarkan, memandaikan, menerangkan” anak didik kita. Dan ayo tetap terus belajar untuk menjadi guru yang “PANDAI”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline