Lihat ke Halaman Asli

Gapey Sandy

TERVERIFIKASI

Kompasianer

25 Januari 1946, Gugurnya Mayor Daan Mogot di Serpong

Diperbarui: 4 April 2017   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

139063849844855087

[caption id="attachment_318098" align="alignnone" width="567" caption="Salah satu rumah yang pernah dipergunakan oleh serdadu Jepang untuk menampung para Taruna yang masih hidup dan mengalami luka-luka pada malam hari setelah pertempuran dalam Peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946. (Foto: Gapey Sandy). Inzet: Dua penampilan Mayor Daan Mogot. (Foto: wikipedia.org, dan sulutonline.com)"][/caption]

Nama “Daan Mogot”, pasti sudah sering kita dengar. Itu adalah sebuah nama jalan yang menghubungkan antara Ibukota Jakarta (perempatan Grogol, Jakarta Barat) dengan Kota Tangerang yang masuk wilayah Provinsi Banten.

Tapi, tahukah kita, bahwa Daan Mogot adalah seorang perwira militer berpangkat mayor, dan merupakan salah seorang pahlawan nasional yang gugur pada tanggal 25 Januari, 68 tahun silam (tepatnya, 1946), sewaktu terjadi pertempuran di area markas pasukan tentara Jepang di kawasan Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

* * *

Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Nama lengkapnya, Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, buah cinta dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot, antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.

Daan Mogot memiliki serangkaian pengalaman kemiliteran, mulai dari menjadi Anggota Seinen Dojo angkatan pertama (1942-1943); Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1 (1943); Shodancho PETA di Bali (1943-1944); Staf Markas PETA i di Jakarta (1944-1945); Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor) pada 1945; dan merupakan salah seorang pendiri, sekaligus menjadi Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) – atau Akademi Militer Tangerang -- dalam kurun waktu yang singkat (1945-1946). Demikian seperti ditulis Wikipedia.

Pada tahun 1945 ketika diproklamasikan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Tentu saja ini menjadi sesuatu yang luar biasa, karena pada waktu itu, Mayor Daan Mogot baru menginjak usia 16 tahun. BKR yang dibentuk pada 23 Agustus 1945, mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Karesidenan Jakarta, atau empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya.

Sejumlah perwira yang tergabung didalamnya adalah Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin dan Darsono (keduanya dari Resimen Cikampek), dan lainnya. Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan karet di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, ketika para Taruna MAT yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang, pada 25 Januari 1946.

[caption id="attachment_318100" align="alignnone" width="567" caption="Dua bangunan rumah yang saling berdampingan ini menjadi saksi bisu Peristiwa Lengkong di Serpong, Kota Tangerang Selatan. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906388691663389038

[/caption]

Sebagai penggagas sekolah akademi militer, maka pada 18 November 1945, Daan Mogot dilantik menjadi Direktur Akadami Militer Tangerang pada saat baru berusia 17 tahun. Sebenarnya, di Jogjakarta juga berdiri Militer Akademi Jogjakarta hampir bersamaan, yaitu pada 5 November 1945.

Gagasan untuk mendirikan akademi militer, memang menjadi cita-cita Daan Mogot. Ide cemerlang pendirian MAT itu sendiri, berasal dari empat orang, yakni Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Jahja dan Taswin. Dalam bukunya yang berjudul Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong, Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh menulis, lembaga pendidikan perwira itu mula-mula mereka namakan “Sekolah Tinggi Militer”, tapi para perwira umumnya lebih cenderung dan lebih suka untuk menggunakan sebutan “Em-A” (M.A.). Sebutan M.A. itu diilhami dari nama akademi militer Belanda yang terkenal di zaman Belanda sebutan “K.M.A.”, singkatan dari “Koninklijke Militaire Academie” (Akademi Militer Kerajaan). Jadi sebutan “M.A.” itu, yang tidak diucapkan secara lengkap, sebenarnya bukanlah singkatan dari Bahasa Indonesia “Militer Akademi”, melainkan singkatan dari Bahasa Belanda “Militaire Academie”. Pada tahap awal, ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang, Taswin bertugas di staf, sedangkan Kemal Idris di pasukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline