TIDAK cuma berwacana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akhirnya jadi juga mengajukan judicial review atas UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Nekat juga nih Ahok. Ia datang ke MK beberapa hari lalu tanpa pengacara, tapi cukup didampingi staf hukumnya, Rian Ernest. Beralasan jika majelis hakim MK mempelesetkan BTP bukan singkatan dari Basuki Tjahaja Purnama, tetapi "beracara tanpa pengacara" (BTP).
Apa mau dikata itulah Ahok yang oleh pengamat politik Ikrar Nusa Bakti sering disebut sebagai gubernur "klotokan" (nekat dan tidak punya takut kepada siapa dan apa pun).
Pasal yang "dipersoalkan" Ahok dalam UU Pilkada menyangkut tentang cuti kampanye. Dalam pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10/2016 disebutkan: "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:(a) menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan (b) dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya."
Ahok ingin menghilangkan pasal dan ayat tersebut? Ngawur kalau dia berkehendak seperti itu. Memangnya dia siapa? Informasi yang saya peroleh, Ahok hanya ingin minta opini atau tafsir dari MK atas pasal dan ayat tersebut. Ahok minta tafsir kepada MK, apakah rumusan dalam pasal dan ayat tersebut bermakna bahwa petahana wajib hukumnya untuk cuti. Bagaimana kalau Ahok tidak memanfaatkan masa cuti dan tetap bekerja, juga tidak melakukan kampanye sama sekali?
Konkretnya Ahok tidak meminta pasal dan ayat tersebut dicabut. "Di permohonan ke MK, kita tidak minta hakim mencabut pasal tersebut. Kita hanya minta penafsiran hakim, supaya pasal cuti dinyatakan bertentangan dengan UUD, apabila cuti adalah wajib. Apabila cuti sifatnya hak (bisa diambil bisa juga tidak), maka kita juga minta hakim menambahkan syarat bahwa yang tidak cuti juga tidak boleh kampanye. Ini supaya fair karena pembuat UU memang niatnya mencegah abuse of power," kata Ernest.
Ahok sendiri tampaknya sudah siap dengan berbagai kemungkinan, yang terburuk sekalipun, seperti tidak melakukan kampanye sama sekali. Ahok, menurut Ernest, sangat paham bahwa pembuat UU Pilkada punya niatan membendung tingkah laku petahana di banyak daerah yang (maaf) kerap menyalahgunakan kekuasaan.
Maklumlah, fakta di lapangan memang seperti itu. Banyak petahana yang menang kembali sebagai kepala daerah lantaran mereka memanfaatkan jaringan dan perangkat yang dimiliki saat kampanye.
Ahok "menggugat" pasal dan ayat soal cuti boleh jadi karena ia tidak ingin khilaf dan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Karena itu ia secara resmi meminta hakim supaya menafsirkan: cuti itu hak/pilihan atau wajib.
Buat Ahok sepertnya tidak menjadi persoalan jika hakim MK memutuskan petahana boleh tidak cuti dengan konsekuensi yang bersangkutan tidak boleh berkampanye sama sekali.
Bagi Ahok, kampanye yang sesungguhnya adalah bekerja untuk Jakarta. Buat apa kampanye jika ujung-ujungnya menghambur-hamburkan uang.