Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Akankah Manusia Masa Depan Memiliki Fisik yang "Menyeramkan"?

Diperbarui: 16 September 2017   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat datang di Sangiran (dok.Gana)

Salah satu tempat wisata yang masuk dalam daftar must visit saya dan keluarga tahun ini adalah Museum Sangiran.

Kenapa? Karena heran dengan kehebohan dunia akan museum manusia es "Oetzi" di Bolzano, Italia, yang menampilkan bentuk utuh manusia purbakala (bukan hanya tengkorak) dalam kotak kaca. Dalam kunjungan kami beberapa tahun yang lalu ke sana, kami jadi tahu manusia purba hanya berumur 4000 tahun. Jadi kami juga pengen tahu sehebat apa simpanan peninggalan sejarah di tanah air. Sehingga dari perjalanan Yogyakarta menuju Jepara, kami menyempatkan diri ke Kota Sragen. Wow, jalannya sudah dicor beton, bukan aspal. Lebar pula. Kemajuan.

Lewat giringan navigasi google, sampai juga kami di sana. Memasuki gerbang, mobil kami dihadang petugas. Saya buka jendela kaca:

"Pinten, pak? Gangsal. Dua dewasa, tiga anak." Saya tanya berapa harganya.

"Dua lima bu," Petugas melongok ke dalam, memeriksa berapa orang yang ada di dalam mobil. Kami disuruh membayar Rp. 25.000, untuk tiket 2 dewasa dan 3 anak. Uang berpindah, diganti tiket warna hijau. Tertulis; "Museum Manusia Purba Sangiran Retribusi Masuk Wisatawan Domestik. Rp 3.500,00." Satunya lagi berwarna biru dengan nominal Rp 1.500." Tiket museum ada dua? nggak ngerti.

Beberapa meter ke depan, dihadang lagi petugas. Sekarang kami diharap membayar parkir sebesar Rp. 5.000,00. Lunas.

Rombongan wisatawan lokal tampak berbondong-bondong antre memasuki lorong museum. Kami pun bergabung. Seru, senang kalau sekolah-sekolah Indonesia mendorong muridnya berkunjung ke museum, apalagi menuju world heritage list number 593 ini.

Barisan siswa sudah hilang. Giliran kami. Pertama-tama kami mengisi buku tamu.

"Diisi asing ya, buk" Kata mas petugas.

"Iya, pak." Tangan saya mulai menuliskan kelima nama kami, dari Jerman. Bukan Jejer Taman.

Rabalah daku (dok.Gana)

Kerja keras arkeolog (dok.Gana)

Gambaran Penemuan Homo Erectus

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline