Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

2026 Iuran BPJS Kesahatan Naik, Bagimana dengan Kualitasnya?

Diperbarui: 26 Agustus 2025   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BPJS Kesehatan.(Dok. BPJS Kesehatan)

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2026 memang belum resmi diterapkan, tetapi wacananya sudah menimbulkan kegelisahan. Masyarakat langsung mengingat pengalaman lama: antrean panjang di rumah sakit, pelayanan yang terkesan diskriminatif, obat yang sering tidak tersedia, serta birokrasi yang membuat pasien justru semakin lelah. Ketika mendengar kata iuran naik, bayangan itu kembali muncul. Satu pertanyaan yang paling sering keluar dari mulut orang awam sangat sederhana: kalau bayar lebih mahal, apakah pelayanannya bakal lebih baik?

Beban di Dompet, Tapi Apa Ada Jaminan?

Tidak bisa dipungkiri, biaya kesehatan memang semakin mahal. Rumah sakit butuh alat yang canggih, tenaga medis butuh pelatihan berkelanjutan, dan harga obat terus naik. Pemerintah mungkin melihat kenaikan iuran sebagai solusi logis agar program BPJS tetap berjalan. Tetapi logika itu hanya masuk akal di atas kertas. Di lapangan, masyarakat menilai hal yang paling penting bukan sekadar nominal iuran, melainkan jaminan nyata bahwa kenaikan itu sebanding dengan layanan yang mereka dapatkan.

Masalahnya, publik punya memori yang panjang. Mereka masih ingat pengalaman antre sejak pagi buta di fasilitas kesehatan hanya untuk mendapatkan pelayanan yang kadang baru dimulai menjelang siang. Mereka juga masih ingat betapa seringnya pasien BPJS dianggap "kelas dua" dibanding pasien umum. Maka wajar jika kenaikan iuran tidak disambut dengan rasa optimistis, melainkan curiga. Jika pemerintah ingin kebijakan ini diterima, kuncinya bukan hanya pada besaran iuran, tetapi pada kepastian bahwa pelayanan memang berubah ke arah lebih baik.

Kualitas Layanan, PR yang Tak Kunjung Usai

Sampai hari ini, keluhan tentang BPJS hampir selalu sama. Antrean panjang seakan sudah menjadi bagian dari paket. Rumah sakit rujukan sering kewalahan karena jumlah pasien yang jauh lebih banyak dibanding fasilitas yang tersedia. Tenaga medis pun akhirnya bekerja di bawah tekanan, dan hal ini berimbas pada sikap yang kadang kurang ramah. Banyak pasien merasa seolah-olah mereka hanyalah angka di antara ribuan orang lain yang mengantri.

Masalah lain adalah ketersediaan obat dan fasilitas. Tidak jarang pasien harus membeli obat sendiri karena yang mereka butuhkan tidak tersedia di daftar BPJS. Padahal, salah satu alasan orang mengikuti program ini adalah untuk mengurangi beban biaya. Ketika kenyataannya mereka tetap harus keluar uang, rasa kecewa tidak bisa dihindari.

Ironinya, kualitas pelayanan justru jarang menjadi pusat pembahasan ketika pemerintah berbicara soal BPJS. Yang lebih sering muncul adalah isu defisit dana, keberlanjutan pembiayaan, dan angka kepesertaan. Padahal, yang paling dirasakan masyarakat sehari-hari adalah mutu layanan. Seolah-olah kualitas hanya ditempatkan di nomor sekian, sementara masyarakat menilai itu seharusnya berada di nomor satu.

Jika iuran naik pada 2026, publik berharap kualitas yang sudah lama jadi PR besar ini benar-benar mendapat perhatian. Tidak cukup hanya menambah rumah sakit rujukan tanpa memperbaiki manajemen. Tidak cukup hanya menambah anggaran tanpa memastikan distribusi obat lebih merata. Yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh yang membuat pasien merasa dilayani, bukan sekadar diproses.

Transparansi dan Kepercayaan yang Dipertaruhkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline