Pernahkah kamu merasa sudah memiliki semua kualifikasi yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan, tetapi tetap saja ditolak bahkan sebelum tahap wawancara? Bukan karena kamu tidak kompeten atau kurang pengalaman, melainkan karena syarat-syarat yang tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja. Syarat usia maksimal, jenis kelamin tertentu, status pernikahan, bahkan standar fisik menjadi tembok besar yang menghalangi banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Fenomena ini bukan hanya sekadar perasaan, tetapi kenyataan pahit yang dialami banyak pencari kerja di Indonesia. Iklan lowongan kerja sering kali menampilkan persyaratan yang tidak masuk akal dan diskriminatif, yang justru mengabaikan esensi utama dalam dunia kerja: kompetensi dan dedikasi.
Lalu, mengapa fenomena ini masih terus terjadi? Apakah perusahaan benar-benar membutuhkan batasan-batasan tersebut, atau ini hanya bentuk keusangan pola pikir dalam sistem rekrutmen?
Fenomena Diskriminasi dalam Lowongan Kerja di Indonesia
Diskriminasi dalam dunia kerja di Indonesia bukan lagi hal baru. Setiap tahunnya, ribuan pencari kerja menghadapi seleksi yang tidak hanya menilai keterampilan dan pengalaman mereka, tetapi juga aspek-aspek yang tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam proses rekrutmen.
Banyak perusahaan di Indonesia masih menerapkan batasan usia yang ketat. Tidak jarang iklan lowongan kerja menuliskan syarat seperti "maksimal 27 tahun" atau "hanya untuk fresh graduate." Padahal, dalam banyak bidang pekerjaan, pengalaman dan kematangan emosional justru lebih berharga dibandingkan sekadar usia muda. Seseorang yang berusia 35 tahun dengan pengalaman bertahun-tahun bisa jadi lebih kompeten daripada seorang lulusan baru, tetapi karena aturan yang diskriminatif ini, mereka kehilangan kesempatan untuk bersaing secara adil.
Selain usia, faktor gender juga masih menjadi penghalang bagi banyak pencari kerja. Perusahaan tertentu hanya membuka lowongan untuk laki-laki atau perempuan tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh, beberapa perusahaan lebih memilih laki-laki untuk posisi di bidang teknik atau lapangan, meskipun banyak perempuan yang memiliki kemampuan setara atau bahkan lebih unggul. Sebaliknya, banyak posisi seperti customer service atau resepsionis yang hanya ditujukan untuk perempuan, seolah-olah laki-laki tidak mampu melakukan pekerjaan tersebut.
Diskriminasi juga kerap terjadi berdasarkan status pernikahan. Beberapa perusahaan lebih memilih pekerja lajang dengan alasan mereka lebih fleksibel dan tidak memiliki tanggungan keluarga, sementara yang lain justru mengutamakan pekerja yang sudah menikah karena dianggap lebih stabil. Hal ini menunjukkan betapa biasnya dunia kerja, yang mengabaikan bahwa status pernikahan seharusnya tidak memengaruhi kualitas pekerjaan seseorang.
Lebih ironis lagi, standar fisik sering kali menjadi syarat utama dalam beberapa lowongan kerja. Tidak jarang kita menemukan iklan loker yang mencantumkan tinggi badan minimal, berat badan proporsional, atau bahkan "berpenampilan menarik." Kriteria ini lebih sering muncul dalam industri perhotelan, penerbangan, dan layanan pelanggan, tetapi sayangnya juga merembet ke bidang lain yang seharusnya tidak membutuhkan standar fisik tertentu. Apakah tinggi badan dan berat badan benar-benar menentukan kualitas kerja seseorang?
Mengapa Perusahaan Masih Menerapkan Kriteria Diskriminatif?