Lihat ke Halaman Asli

Fransiskus Nong Budi

Franceisco Nonk

Dari Logika Kemacetan Menuju "The New Era of Transportations"

Diperbarui: 11 Agustus 2020   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jawapos.com

"Kemacetan" merupakan konsumsi harian masyarakat kota. Hampir semua kota-kota besar di Indonesia mengalami persoalan kemacetan. Kemacetan yang dimaksud di sini ialah kemacetan lalu lintas.

Kemacetan dimengerti sebagai kondisi di mana terganggu atau bahkan terhentinya arus lalu lintas. Masyarakat kota sudah terbiasa dengan persoalan ini. Kemacetan bukan "barang baru" atau "hal baru" bagi masyarakat perkotaan.

Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait telah berjuang keras untuk mengatasi kemacetan. Berbagai upaya telah diusahakan. Hal ini bahkan menjadi agenda penting karena kemacetan merupakan salah satu problem terbesar yang dihadapi kota-kota besar di tanah air. Meskipun demikian, kemacetan tetap ada dan mewarnai rutinitas di perkotaan. Kemacetan seolah-olah menjadi ciri daerah perkotaan.

"Kemacetan" sebenarnya mempunyai logika. Logikanya sangat sederhana. Semua orang mengenal logika yang dimaksud, tetapi hampir tidak pernah terjamah karena terlalu sederhana. Logika kemacetan dapat dianalogikan dengan berbagai hal praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kemacetan itu seperti seseorang yang terus menuangkan air ke dalam sebuah gelas yang penuh terisi air.

Para pakar di bidang transportasi dan angkutan jalan mengurai berbagai faktor penyebab kemacetan lalu lintas. Mereka melakukan interpretasi dari berbagai perspektif pula, tetapi hampir melupakan logika kecil yang dianalogikan di atas.

Penyebab pertama kemacetan itu ialah kuantitas sarana transportasi yang melampaui daya tampung jalan. Antara kendaraan dan jalan tidak ada keseimbangan. Di samping itu anarkisme lalu lintas dan "logika yang salah" tentang lalu lintas pun turut memengaruhi kemacetan.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari logika kemacetan tersebut ialah menciptakan keseimbangan antara kendaraan dan daya tampung jalan. Beberapa kota besar di tanah air berusaha menyimpulkan logika ini dengan sejumlah tindakan.

Misal memperlebar jalan raya, melakukan simulasi rute, larangan memasuki suatu jalur atau area untuk jenis kendaraan tertentu, menaikkan tarif parkir, dan meningkatkan pelayanan angkutan umum.

Semua hal tersebut merupakan bagian dari sistem transportasi lalu lintas. Ini sungguh baik demi mengatasi kemacetan. Contoh nyatanya seperti Trans Jakarta dan Bus Way, larangan bagi sepeda motor untuk melintas di Jl. Thamrin - Jakarta, atau jalur khusus angkot di kota Malang, perubahan rute lalu lintas, dan penyediaan bus pelajar oleh dinas pendidikan.

Namun, penyimpulan logika ini belum tepat karena premis yang dianalogikan tidak dijawab. Penyimpulan yang tepat dari analogi logika kemacetan itu seharusnya ialah menutup keran atau berhenti menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh. Bukankah hujan berhari-hari atau berminggu-minggu akan mengakibatkan banjir bandang?

Logika kemacetan dan penyimpulan yang demikian di satu sisi bertentangan dengan hak dan kebebasan manusia dalam kepemilikan, tetapi di sisi lain perlu karena mau tidak mau semua pihak -- entah yang akan menggugat kebebasannya atau tidak -- mengalami "frustrasi kemacetan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline