Sebagai pembaca yang telah melalui berbagai bacaan bertema gender, buku Kalau Mayoritas Suami Takut Istri, Kenapa Patriarki Masih Merajalela? adalah sebuah kejutan yang menyegarkan sekaligus menohok. Tidak hanya karena judulnya yang memancing rasa ingin tahu, tetapi juga karena isinya berhasil membongkar berlapis-lapis mitos sosial yang selama ini dianggap wajar. Buku ini tidak datang dengan narasi kemarahan yang bising, melainkan dengan analisis yang tajam, data yang kuat, dan bahasa yang membumi. Ia mengajak pembaca berpikir, bukan merasa dituduh.
Sebagai pembaca, saya langsung tertarik sejak pendahuluan. Penulis mengajukan pertanyaan sederhana namun menggugah: "Jika benar mayoritas suami takut istri, mengapa sistem patriarki masih kuat mengakar?" Pertanyaan ini bukan hanya retoris, tapi menjadi benang merah seluruh isi buku yang kemudian dijawab dengan pendekatan yang interdisipliner---menggabungkan sosiologi, psikologi, media, hukum, dan narasi sehari-hari.
Bab demi bab disusun dengan struktur logis dan mengalir, seperti percakapan dengan seseorang yang tahu persis apa yang sedang ia bicarakan. Di Bab 1, kita dibawa menyelami paradoks: banyak suami merasa takut kepada istri mereka, tetapi di saat yang sama, hampir seluruh pengambilan keputusan besar tetap berada di tangan mereka. Saya sempat berhenti membaca sejenak untuk merenung. Bukankah itu benar? Ketakutan itu bukan kehilangan kendali, tapi justru cara baru dalam menyamarkan dominasi.
Bab 2 dan Bab 3 masuk lebih dalam ke akar persoalan: bagaimana kebencian terhadap perubahan peran gender dan struktur sosial pendidikan justru menjadi penjaga utama sistem patriarki. Saya menemukan penjelasan yang sangat membekas, tentang bagaimana sistem pendidikan di Indonesia masih menanamkan gagasan peran laki-laki dan perempuan secara tidak setara, bahkan sejak usia dini. Buku ini tidak hanya mengkritik, tapi juga menunjukkan bagaimana normalisasi ketimpangan berlangsung dalam rutinitas dan kurikulum pendidikan.
Bab 4 dan 5 menjadi bagian yang sangat reflektif bagi saya sebagai pengguna media sosial. Buku ini menguliti bagaimana media massa dan representasi gender dalam iklan, sinetron, bahkan meme internet, menjadi alat reproduksi patriarki yang sangat halus. Dalam bagian ini, penulis menyoroti betapa mudahnya tawa publik digunakan untuk melemahkan suara perempuan. Bahwa candaan tentang istri galak bukan bentuk kebebasan, tapi justru strategi sosial untuk menjaga agar perempuan tetap merasa bersalah saat berani bicara.
Yang membuat buku ini makin kuat adalah keberanian untuk membahas topik-topik yang jarang disentuh secara jujur, seperti di Bab 6 dan Bab 7 tentang ilusi kontrol dalam rumah tangga dan bagaimana humor menjadi alat kontrol patriarki. Saya merasa terwakili dalam keraguan yang selama ini tidak sempat saya uraikan: benarkah dominasi itu sudah runtuh hanya karena laki-laki mencuci piring sesekali? Buku ini tidak sinis, tetapi realistis.
Lalu, masuk ke Bab 8 dan Bab 9, saya merasa disentuh secara pribadi. Bagaimana perempuan yang bersuara seringkali justru dianggap ancaman oleh masyarakat, bahkan oleh sesama perempuan. Penulis dengan sangat hati-hati menjelaskan bahwa seringkali perempuan ikut menjaga sistem patriarki bukan karena mereka bodoh atau menolak perubahan, melainkan karena mereka diajarkan bahwa inilah satu-satunya jalan agar tetap dihormati. Di bagian ini, saya hampir menangis. Bukan karena sedih, tapi karena saya akhirnya memahami sesuatu yang selama ini hanya saya rasakan sebagai "tekanan tak kasatmata."
Puncaknya adalah Bab 10, yang merangkum semua kontradiksi dalam pertanyaan: "Kalau suami takut istri, lalu di mana patriarkinya?" Di sini penulis mengajak pembaca melihat bahwa patriarki tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan atau dominasi langsung. Ia bekerja melalui sistem nilai, lelucon, aturan sosial, bahkan rasa bersalah yang diwariskan turun-temurun. Buku ini membuka mata bahwa patriarki adalah sistem yang terlalu pintar untuk muncul secara vulgar. Ia hidup di antara kompromi yang tampaknya adil, padahal masih timpang.
Yang membuat saya kagum adalah keberanian buku ini untuk tidak berhenti pada kritik. Ia juga menawarkan harapan. Bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang terkecil---dapur, kamar tidur, ruang obrolan keluarga, dan komunitas. Bahwa kesetaraan bukan soal menggulingkan kekuasaan laki-laki, tetapi menciptakan ruang yang setara untuk semua suara, semua beban, dan semua keputusan.
Sebagai pembaca, saya merasa buku ini tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga ruang refleksi. Ia menyodorkan cermin yang jujur tanpa memaksa kita merasa bersalah. Buku ini penting untuk dibaca bukan hanya oleh aktivis feminis atau mahasiswa sosiologi, tetapi oleh siapa pun yang ingin memahami dinamika hubungan antara laki-laki dan perempuan secara lebih jujur dan mendalam.