Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Dinding

Diperbarui: 7 Mei 2018   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: neutralduo.com

Setiap kali suamiku selesai melapisi dinding-dinding rumah kami dengan cat baru, sorot matanya kembali bercahaya. Punggungnya yang bungkuk kembali tegak. Bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan rasa syukur. Seolah-olah, ia baru saja melaksanakan tugas mulia: membersihkan segala noda yang mengotori dinding-dinding itu.

"Lihatlah, aku telah mengenyahkan segala umpatan, caci-maki, dan cemooh yang melekat pada dinding-dinding itu. Hari-hari indah kita akan segera dimulai," ungkapnya lega dengan sepasang mata berbinar.

Aku mengangguk-angguk kebingungan. Setelah mengamuk seperti banteng yang terluka, suamiku mendadak berubah menjadi orang yang bijaksana. Sepasang mataku menangkap pantulan di cermin. Sesosok perempuan bersandar lunglai di pojok ruangan dengan rona memar di sepanjang pipi seperti seonggok tubuh sisa pertikaian sehari-hari.

"Mari, kubantu merapikan rumah," kata suamiku lembut saat mengambil setangkai sapu. Ia menyapu pecahan vas, bingkai, piring dan makanan yang berceceran di lantai. Kumpulan sampah berkerumun dalam serokan dan siap berakhir di tong sampah.

"Sebentar lagi mereka akan mengangkut sampah," ucapnya tanpa menoleh, "aku akan membawa semua ini ke luar sebelum sarapan."

Saat suamiku berlalu, aku berupaya bangkit. Sulit. Suara gemeretak terdengar beruntun. Aku mengaduh kesakitan. Tulang-tulangku seakan bergeser dari posisi semula. Tapi aku harus bergegas. Sebelum suamiku kembali dan belum terhidang apa-apa di atas meja.

Celaka. Kulkas kosong. Tak ada apa-apa di sana. Aku lupa berbelanja. Akhir-akhir ini, aku cenderung melupakan segala hal. Pertikaian-pertikaian tanpa henti telah merampas ingatanku. Menyisakan potongan-potongan letih tak berkesudahan. Tak lama lagi, kelalaianku ini pasti akan mendatangkan bencana besar.

Langkah-langkah mulai terdengar. Suara pintu dibanting. Suara siulan semakin mendekat. Napasku nyaris terhenti. Sepasang mataku nanar menatap sekeliling. Aku harus bersembunyi. Tapi di mana? Ia pasti akan menemukanku. Sentuhan pelan di pundakku membuatku tersentak.

"Aku sudah bilang soal sarapan padamu."

Suara itu terdengar berat dan dalam. Seperti menahan kemarahan. Kakiku bergetar hebat. Kata-kata yang seharusnya menjadi jawaban tercekat di kerongkonganku. Alasan apa  pun akan percuma. Sia-sia belaka.

Suara brak! Pukulan di atas meja. Plak! Sepasang pipiku memanas. Ia mendorong tubuhku hingga terjerembab di lantai yang dingin. Seisi ruangan berputar-putar. Sosoknya menjelma menjadi bayang-bayang yang mengabur. Sebelum kesadaranku pergi, aroma cat menusuk hidungku. Ia pasti sedang melapisi dinding rumah dengan cat baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline