Lihat ke Halaman Asli

Fitri Ciptosari

Eco-populist and Lecturer of Ecotourism

Menenun, Mewarisi Kecerdasan Intelektual

Diperbarui: 20 Maret 2019   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dok. Pribadi

Pada tanggal 8 Maret lalu para perempuan di seluruh dunia baru saja saling bersalam selamat untuk merayakan International Women's Day. Perayaan tentang pencapaian perempuan tersebut sepertinya kurang dirasakan oleh perempuan Nusa Tenggara Timur. 

Mungkin pada saat yang sama, perempuan NTT sedang hening setelah terhenyak oleh wacana penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perempuan NTT Menenun. Perda yang ingin menghidupkan kembali budaya leluhur, yang konon katanya perempuan NTT akan diperbolehkan menikah jika dia sudah bisa menenun.

Barangkali muncul kegalauan dibalik hening para perempuan NTT. Di satu sisi, ada tanggung jawab besar dipundaknya untuk mewarisi budaya leluhur, di sisi lain ada hak asasi yang siap terpasung. Seolah-olah, tenun seperti rantai besi yang siap memasung mereka untuk tidak boleh menikah. Seolah-olah, para perempuan milenial menjadi terdakwa atas nyaris punahnya budaya menenun di NTT. 

Sebenarnya bukan salah para milenial jika mereka hidup berjarak dengan budaya menenun. Mereka hanyalah manusia-manusia era globalisasi yang dipaksa untuk mengonsumsi modernisasi.

Nuansa kehidupan perempuan NTT yang menenun memang sudah tidak mudah ditemukan lagi. Aktivitas menenun yang masih bisa disaksikan saat ini telah mengalami peralihan makna. Aktivitas menenun lebih banyak terlihat di sanggar-sanggar dan di pelosok-pelosok desa dimana menenun menjadi salah satu alternatif sumber pendapatan. 

Tenun ikat bukan lagi sebagai identitas dan simbol kebanggaan, melainkan sebagai hasil karya cipta yang bernilai rupiah. Laju zaman telah menjadikan tenun sebagai komoditas, yang diperjual belikan sebagai souvenir hingga menjadi seragam anak-anak sekolah dan pegawai dinas.

Jika ada yang masih menenun dan mengajak anaknya menenun, hal ini karena makin tingginya permintaan pasar. Memang tidak bisa dipungkiri, motivasi ekonomi kini lebih mendominasi dari setiap karya tenun yang diproduksi.

Oleh karena itu, jika benar tenun NTT menjadi bukti akan tingginya kecerdasan intelektual perempuan NTT, maka kecerdasan intelektual inilah yang perlu diwariskan.

Setiap motif memiliki makna, memiliki kata-kata yang perlu dijadikan cerita. Disetiap motif ada filosofi, ada pesan-pesan adat yang perlu diwarisi. Dari pemilihan bahan hingga penemuan warna-warna, tenun NTT adalah kain yang sarat akan makna. Semua detail itu pula yang harus diwariskan kepada perempuan milenial saat ini.

Jika tenun ikat adalah mahakarya intelektual perempuan NTT, maka tenun NTT adalah mahakarya yang lahir dari perempuan yang mampu mengelola potensi diri secara bijak. Tidak ada mahakarya di dunia yang dilahirkan dari sebuah paksaan. Dengan meletakkan kewajiban dipundak perempuan tanpa memberikan mereka pemahaman dan pengetahuan sama halnya seperti menerapkan kerja paksa.

Dunia pendidikan adalah ruang intelektual paling 'pas' untuk menerapkan kewajiban belajar menenun pada perempuan milenial NTT. Salah satunya adalah melalui pendidikan Muatan Lokal (Mulok) dimana budaya lokal menjadi wajib diberikan sebagai mata pelajaran kepada peserta didik di sekolah dasar, dari SD, SMP, hingga SMA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline