Lihat ke Halaman Asli

Fawwaz Ibrahim

Aktivis Pendidikan

Hari Raya yang Telah Tiada

Diperbarui: 15 Juni 2018   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Wajah-wajah sumringah sudah tampak sedari pagi, setiap keluarga berbondong-bondong sedari pagi hari menuju lapang. Wajah-wajah mungil terlihat begitu gembira dengan pelbagai setelan baru, mereka tampak percaya diri dengan apa yang dikenakan. Para pria berjalan dengan segera, rambut, baju dan kain sarung tanpa kusut. Tak lupa membawa sejadah dan gulungan koran.

Para kaum ibu tak kalah dalam hal pakaian, bahkan rapi melebihi siapapun dari ujung kepala sampai ujung kaki. Beberapa polesan riasan menjadi pelengkap wajah, tak jarang pula ada yang hadir dengan beberapa perhiasan kecil semacam cincin, atau gelang yang mengeluarkan bunyi saling adu kala mereka berjalan kaki menuju tanah lapang.

Kaum remaja pun tak kalah pagi datang ke lapang, sudah sedari malam mereka bersiap untuk perayaan ini. Remaja putra sangat sibuk dalam persiapan lapangan, mulai dari kesiapan pengeras suara, penanda batas garis saf, hingga mimbar kebesaran yang akan digunakan oleh tokoh agama dalam menyampaikan siraman semangat hari raya dan refleksi bulan Ramadan.

Para remaja putri pun tak kalah sibuk, di sekitar Masjid mereka berjibaku dengan pelbagai macam bumbu dan bahan masakan. Dentingan peralatan masak dan suara kompor gas saling berbalas, seperti hadirkan sebuah simponi di sebuah singgasana keindahan rasa, bernama dapur umum dadakan. Tawa dan canda terlihat dari wajah-wajah mereka.

Gema takbir masih saja terus berkumandang, suka cita terlihat dari setiap jengkal bumi Pasundan ini. Tak saya temukan wajah masam atau kesedihan pada hari ini, yang ada hanya wajah-wajah haru dan saling merangkul satu sama lain. Hadir pula rasa bangga dari keluarga-keluarga baru yang mendapatkan kepercayaan Tuhan, dengan jagoan-jagoan kecil yang dikenalkan kepada sanak saudara.

Gembira pun begitu terpancar dari pasangan-pasangan yang baru resmi menjalin kasih, tak jarang mereka mendapatkan ucapan selamat dari kawan yang baru sempat bertemu. Saling melempar senyum dan salam, menghadirkan atmosfer cinta kasih yang begitu besar. Alam terasa ikut riang dengan apa yang dimunculkan, suasana seketika tenang.

Setidaknya itulah gambaran kegembiraan suasana lebaran mulai malam hari kemarin hingga siang tadi. Rekaman tersebut boleh jadi begitu lekat dalam benak ini, tak kurang dari itu keriangan pun ada dalam diri ini walau terasa ada ruang kosong yang boleh jadi belum sempat tertutupi. Ya, ada hal yang tak biasa.

Ruang kosong dalam jiwa nan ganjil ini rasanya ingin menyibak sedih, ada kegiatan yang terlewatkan pada lebaran kali ini. Setelah siang merangsek, selepas pulang dari sebuah masjid, tiada dia sumber untuk berkumpul pada keluarga besar kami. Ya, setelah Mamah tiada, kegiatan berkumpul antara anak-anak dan cucu-cucu pada saat hari raya, menjadi tiada pula.

Ah, jujur kesedihan ini rasanya begitu mendalam, boleh jadi di keluarga-keluarga lain berkumpul, keluarga besar kami hanya berkumpul di rumah masing-masing. Atau boleh jadi hal tersebut karena Bapak sedang safari dakwah menuju Sulawesi, jadi kegiatan berkumpul ditunda terlebih dahulu. Tapi rasanya dahulu tak seperti ini, ada rasa tiada kali ini.

Mungkin saya terlalu menjadi perasa pada kesempatan hari raya ini, ya, begitu perasa hingga teringat kepada mereka yang telah tiada. Boleh jadi kebanyakan dari kami, bagai anak kehilangan induk. Sehingga tercerai berai tanpa ada yang menyatukan, rasa tiada itu memang ada, dan rasa ketiadaan tersebut makin terasa kala tidak ada yang saling mengisi.

Saat dirinya tiada, semua pun menjadi tiada pula. Tiada pula rasa hari raya yang dulu terasa, kepada dirinya yang telah tiada. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline