Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Faris Ibrahim

Seekor kutu di bulu kelinci dalam topi, yang berharap suatu saat, dapat menatap mata si tukang sulap.

Ketika Picasso Memahamkan Plato

Diperbarui: 9 Agustus 2019   02:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: musement.com

Kecewa, Plato kecil akhirnya tahu perwujudan nyata dari kata kecewa. Kondisi dunia barunya tidaklah lebih jauh berbeda, itulah yang membuatnya kecewa. Padahal- bila terlahir kembali- dulu ia bercita-cita hidup di dunia sebagaimana yang termaktub di Republic-nya. Namun apalah dinyana, ternyata para demagog masih saja berkuasa sepertimana dahulu kala. Para tuan modal seantero dunia tidak peduli gubahan para filsuf yang telah banyak memberi sumbangsih bagi dunia. Yang mereka tahu, setiap yang berhutang harus membayar. Masa lalu, adalah lain hal.

Para penjual manisan masih saja dengan mudahnya memanipulasi rakyat Athena- berkampanye licik tentang jahatnya para dokter yang menjajakkan pahitnya obat. "Barangsiapa yang tidak belajar dari masa tiga ribu tahun, berarti tidak memanfaatkan akalnya," Gothe jauh- jauh hari sudah mengingatkan. Namun, apalah dikata, anak- anak peradaban memang lebih senang bermain Instagram dari pada harus bersusah payah mengunyah petuah para pendahulunya. Itulah yang membuat pak dokter tidak pernah menang melawan abang- abang penjual manisan.

Demagogi bukanlah satu- satunya yang Plato muda sesalkan. Termenungnya ia- di pojokkan kantin- bukanlah tanpa alasan. Teman- teman sebayanya memang kejam berani mencampakkannya. Pikiran cemerlangnya tentang negara ideal terkepul oleh pandangan miring kawan- kawannya- menghardik kumalnya sepatu kets-nya. ihwal yang sama sekali tidak pernah terbayang sebelumnya, dunia ternyata tidak lebih baik dari cerita- cerita distopia abad pertengahan yang diceritakan ibu barunya- sebagai dongeng pengantar tidur.

Dunia ide adalah yang kekal dan abadi. Dunia fisik hanyalah perpanjangan tangan dari dunia ide. Plato muda geram dengan ulah para sebayanya. Bagaimana mereka tidak bisa memahami hal sesederhana itu: bahwa sekumal apapun sepatu kets yang dipakainya, tidaklah pantas bagi mereka mencampakkannya, karena yang lebih utama adalah sepatu kets ideal yang berada di dalam kepala. Hanya dengan memahami itu, sebayanya bisa menengarai secara inshaf jati dirinya- sayangnya, mereka memang tak barang sedikitpun paham. 

Plato baru, hidup di zaman sulitnya berlakon sebagai pangeran di kisah Cinderella. Karena untuk mendapat peran itu, mereka -para gurunya- di akademi harus dengan cermat mengukur mancungnya hidungnya, tingginya yang semampai, dalamnya belahan dagunya, semua itu sayangnya ia tak memilikinya. Yang dimilikinya hanyalah segudang umpama tentang allegory- nya di gua. Namun sayangnya, itu saja, tak cukup meyakinkan para gurunya untuk mau memainkannya bersama si cantik Cinderella- di drama kenaikan kelas nanti.

"Kamu terlalu jelek untuk bisa jadi pangeran," wanita dengan gincu merah mencolok itu- berterus terang- menyalaknya demikian. Plato kecil kini sedang termangu di bangku ketiga sebelum belakang. Menahan tangis di pojokkan- memandang nanar perannya sebagai pangeran kini dimainkan oleh seseorang anak muda rupawan. Plato muda beranjak dari ruangan, menyeret tasnya- lemas tak berselera. Hari itu, Plato kecil pulang lebih awal tak seperti biasanya. Kekecewaannya sudah sampai di ambang batas. Bukan malah membantunya mewujudkan cita, sekolah malah mematahkan banyak cita- citanya.

"Terlalu jelek untuk bisa jadi pangeran?," ia tidak habis pikir, kata- kata kejam itu keluar dari seorang guru- yang katanya adalah orang tua setiap anak di sekolah. Bagaimana mungkin orang tua dapat begitu tega menghardik buah hatinya? Rasa bingung itu, terus mengitar di pikirannya. Sebagaimana batu pipih yang ia lemparkan melandai ke permukaan sungai- memantul beberapa kali, kemudian tenggelam, begitulah kebingungan itu membersamainya- berjingkrak- jingkrak barang sebentar, kemudian tenggelam dalam ingatan menjadi trauma.

Dunia hari ini benar- benar dikuasai oleh materialistik. Berapa banyak bakat manusia di dunia yang harus terpendam oleh karena standar fisik yang mengada- ngada. Plato muda, sekarang tengah berdiri di gudukkan tanah di bibir sungai- memikirkan betul- betul hal itu. Dari seberang sungai, terlihat si pangeran rupawan sedang tertawa bersama teman- temannya- beranjak pulang. Mungkinkah ia harus melempar batu pipihnya- terbang hingga menyasar wajah si rupawan itu? Ia benar- benar muak dengan segala bentuk keindahan fisik yang temporal.

Namun sekelebat saja, ia urungkan niat jahatnya itu lalu. Sambil turun dari gundukkan- Plato muda menyadari satu hal: tiadalah guna selalu membandingkan diri dengan orang yang berada di seberang. Setinggi apapun ia dapat berdiri di atas gundukkan, pasti selalu ada yang lebih tinggi -berdiri di atas dirinya, selalu. Terlalu perhatian pada kelebihan orang, kadang membuat lupa betapa spesialnya diri sendiri. Dari pada sibuk menyumpahi rumput hijau milik tetangga, lebih baik mulai memupuk pelataran sendiri dengan limpahan warna hijau dedaunan.

Meresapi kenyataan itu, membuatnya sedikit lebih nyaman. Sambil menyusur pematang panjang menuju rumah, Plato muda teringat syarahan guru lukisnya di akademi- menjelaskan Guernica sebagai sebagai salah satu mahakarya Picasso di masa perang saudara. Namun, bukanlah surealisme yang paling diingatnya dari penejelasan itu, melainkan suatu motivasi untuk selalu percaya diri yang gurunya sisipkan dari perjalanan hidup seorang Picasso.

"ketika saya masih kecil, ibu saya bilang kepada saya: 'jika kamu menjadi prajurit, maka kamu akan jadi jenderal. Kalau kamu jadi biarawan, kamu (harus) berakhir menjadi paus'. Tapi malah sebaliknya, saya menjadi pelukis dan berakhir sebagai Picasso."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline