PEMBELAAN FILOSOFIS TERHADAP KAUM BERIMAN (part-1)
Keimanan atas keberadaan dan keagungan Tuhan, secara filosofis, didasarkan pada argumentasi-argumentasi rasional yang mengajukan bukti-bukti logis dan empiris. Pertama, argumentasi desain (teleologis) yang menegaskan bahwa kompleksitas dan keteraturan alam semesta tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya kecerdasan maha dahsyat yang telah merancangnya. Alam semesta diatur oleh hukum-hukum fisika yang presisi, seperti gravitasi, termodinamika, serta konstanta kosmologis yang sangat spesifik, yang seandainya salah satu parameter ini berubah sedikit saja, maka kehidupan ini tak-kan pernah ada. Fakta ini mirip dengan fenomena jam tangan dengan komponen yang rumit. Meskipun kita tidak melihat dengan mata kepala siapa yang membuatnya, tetapi keberadaan komponen-komponennya yang saling terkait dan berfungsi secara harmonis itu membuktikan adanya sang perancang. Demikian pula, struktur DNA, sistem kekebalan tubuh, atau keseimbangan ekosistem, semuanya menunjukkan kompleksitas yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui proses acak tanpa tujuan yang jelas. Seorang ilmuwan fisika dan astronomi, Sir Fred Hoyle (1915--2001) mengatakan: Kemungkinan kehidupan ini muncul secara kebetulan, ibarat badai yang menyapu bengkel sampah, lalu merakit pesawat Boeing 747. Dengan demikian, keteraturan alam semesta dan kehidupan di dalamnya menjadi bukti kuat bahwa ada sang Pembuat yang merancang segala sesuatu dengan tujuan-Nya yang jelas.
Kedua, argumentasi kosmologis menggarisbawahi asal-usul alam semesta dan adanya prinsip sebab-akibat. Hukum kausalitas itu menyatakan bahwa segala yang ada merupakan akibat yang pasti memiliki penyebab. Alam semesta, yang memiliki awal berdasarkan Big Bang Theory dan bukti ilmiah seperti radiasi latar kosmis, pasti memiliki Penyebab Pertama yang tidak bergantung pada ruang dan waktu (al-Muchith). Penyebab ini harus bersifat transenden (al-Adzhim), abadi (al-Chayyu) dan berkekuatan tak terbatas (al-Qodir)---yakni karakteristik Dzat yang sesuai dengan konsep Tuhan dalam kajian teologi. Apabila alam semesta merupakan akibat, maka penyebabnya harus berada di luar alam semesta itu sendiri (Qiyamuhu bi nafsihi). Lebih jauh lagi, konsistensi hukum alam, seperti hukum gravitasi yang berlaku seragam di seluruh galaksi, menunjukkan bahwa ada sang Penyusun Hukum yang menetapkannya. Tanpa keberadaan Penyebab Utama ini, kita akan terjebak dalam regresi yang tak terbatas, yaitu: jika alam semesta disebabkan oleh sesuatu, lalu sesuatu itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan seterusnya, maka pertanyaannya adalah dari manakah asal rangkaian sebab-akibat tersebut? Dengan demikian, argumentasi kosmologis menegaskan bahwa mustahil ada alam semesta tanpa ada Pencipta yang menjadi sumber segala kausalitas.
Kedua argumentasi di atas saling melengkapi. Argumentasi desain menjelaskan tentang bagaimana alam semesta bekerja dengan rancangan yang maha cerdas, sementara argumentasi kosmologis menjawab pertanyaan "mengapa alam semesta ini ada?". Keduanya menolak gagasan bahwa realitas fisik muncul secara kebetulan sebagaimana anggapan kaum ateis, atau muncul dari kekacauan tanpa tujuan, sebagaimana yang marak 'didakwahkan' oleh kaum nihilisme dewasa ini. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan modern, seperti penemuan partikel Higgs atau studi tentang multiverse, memperlihatkan betapa rumit dan teraturnya alam semesta ini. Oleh karena itu semua, iman kepada Tuhan bukanlah perbuatan orang-orang yang buta pengetahuan, melainkan satu kesimpulan rasional yang didukung oleh pengamatan ilmiah, logika, dan refleksi filosofis tentang dimensi yang disinggahi oleh manusia saat ini. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI