Lihat ke Halaman Asli

Faqih Ma arif

TERVERIFIKASI

Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Dalam Hidup, Pengorbanan Tidak Selalu Berujung Manis

Diperbarui: 15 Desember 2019   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Climbing Old Rag Mountain

Alkisah sejak Raden Wijaya berhasil mendirikan kerajaan Majapahit pada tahun 1293M, ada abdi paling setia yang luar biasa dalam mendampingi Raden Wijaya yaitu Lembu Sora, atau dalam beberapa referensi disebutkan sebagai Andaka Sora, Kadang, Sora, Mpu Sora. Akan tetapi, dalam akhir kisah hidupnya, Lembu Sora bukan gugur sebagai "pahlawan", Ksatria ini justru mengalami nasib yang menyedihkan dan gugur dengan cap sebagai "Pemberontak" kerajaan Majapahit.

Siapakah Lembu Sora?
Selain memiliki pribadi ksatria, dan memiliki strategi handal, Lembu Sora dikenal pribadi yang tulus tanpa pamrih, serta rela meletakkan segala kehormatannya untuk junjungannya. 

Dalam kidung Panji Wijaya Krama Lembu Sora rela perutnya dijadikan tempat duduk Wijaya dan istrinya saat beristirahat dalam pelariannya oleh Prabu Jayakatwang, serta rela terengah-engah menggedong istri Wijaya dalam melintasi sungai dan rawa-rawa agar tidak terseret oleh arus air atau tenggelam. Karena pengorbanannya, Wijaya dan keluarganya sangat mencintai Lembu Sora, akan tetapi nasibnya tidak segemilang tokoh-tokoh lain yang membantu Diah Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kisah lain menyebutkan tentang pembebasan keluarga Wijaya dari serangan Jayakatwang di Pura Singosari, militer Jayakatwang berhasil berhasil mengetahui dan mengejar Diah Wijaya. Lembu sora menggendong Diah Wijaya sambil melakukan perlawanan perang. Lembu Sora juga meloloskan Diah Wijaya dengan bantuan Ki Lurah Kudadu ke Madura Timur untuk dititipkan di Arya Wiraraja. Juga disebutkan dalam pengusiran tantara Mongol di tanah Jawa, Lembu sora berhasil memimpin penyerangan terhadap pasukan tar-tar bersama dengan pasukan Bhayangkara.

Singkat cerita, kematian Kebo Anabrang (panglima Pamalayu) menjadi awal kehancuran Lembu Sora, berdasarkan pengadilan pada saat itu, menyatakan bahwa lembu sora harus di hukum mati. Apa yang terjadi di Majapahit, tidak diketahui oleh Lembu Sora, suasana genting ketika itu serba tidak terkendali, tidak diketahui mana lawan dan mana kawan, mana yang benar dan mana yang salah.

Dia adalah Mahapatih Diah Halayuda bangsawan saudara Diah Wijaya yang meracun Wijaya dan banyak menebar berita bohong serta menghasut berbagai pemimpin di Majapahit. Puncaknya adalah ketika keluar surat yang menyatakan bahwa Lembu Sora di ringankan menjadi hukuman buang di Tulembang (tempat Palembang saat ini).

Lembu Sora pun patuh dengan surat dari raja, bahkan Lembu sora lebih memilih hukuman mati dengan membalas surat kepada raja, akan tetapi justru surat tersebut disembunyikan oleh Mahapatih dan sebaliknya mengatakan kepada para Menteri agung bahwa Lembu Sora akan datang, tapi untuk melawan Majapahit.

Kematian Lembu Sora
Mendengar ini terbakarlah amarah para pemimpin Majapahit, bahkan Nambi memohon ijin kepada Wijaya untuk bersiap melakukan penyerangan, bahkan sebelum mereka datang ke Majapahit. Sementara itu, Lembu Sora hanya datang bersama dengan dua orang yaitu Gajah Biru dan Juru Demu (tanpa pasukan). Belum sempat ada dialog, ketiganya dikeroyok pasukan elit di bawah pimpiman Nambi, jumlah yang tidak seimbang membuat ketiganya Gugur dengan label "Pemberontak" di Halaman Istana Majapahit yang pernah mereka perjuangkan selama ini.

Hikmah di balik peristiwa
Ketika salah satu sahabat menaruh cerita, kenapa saya yang berjuang, tapi dia yang menikmati hasilnya?. Bahkan karya yang sudah diperjuangkan diakui sebagai karyanya, sampai semua peluang yang telah dibuka dan sedang dikerjakan ditutup dengan sedemikian rupa. Jerih payah, kucuran keringat, finansial, dan usaha yang menantang nyawa, dianggap hanya sebuah isapan jempol semata.

Dalam suasana itu, masih juga ada yang tega berpendapat bahwa apa yang dilakukan hendaknya di "gembar-gemborkan" agar semuanya mengetahui. Karena diam saja tidak cukup, semakin diam akan semakin di injak. Hal ini menjadi peperangan batin tersendiri apabila prinsip dasar kita dalam melakukan sesuatu adalah ikhlas, seperti sebuah kutipan yang mengatakan pemberian terbaik yang dilakukan oleh tangan kanan, hendaknya jangan sampai diketahui oleh tangan kirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline