Lihat ke Halaman Asli

Politik Hukum Penindasan

Diperbarui: 30 November 2015   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Hukum Penindasan

Paradigma positivisme dalam Sistem Hukum Indonesia

Minah masih menangis, air matanya masih membasahi lantai pengadilan Banyumas. Sujudberharap ampun tidak mengahapus delapan bulan buinya. Tiga buah kako yang diambil,berbuah kemurkaan mandor kebun. Dalih memberi pelajaran, minah si tua renta dihadapkan meja hijau. Dengan berhutang tetangga, minah tertatih menuju peradilan tanpa pembela. Dengan sesenggukan (mungkin tak tega), hakim membaca putusan diiringi air mata.

Apa yang dialami minah, secara hukum (kita) patut untuk dipersalahkan. Unsur Unsur pencurian dalam Undang Undang telah terpenuhi. Hal ini menjadi alasan bagi penegak hukum untuk memproses kasus minah. Meskipun secara moralitas, kita yakin, penegak hukum tak patut untuk memproses kasus picisan ini.

Namun demikian, harus kita akui, paradigma penegakan hukum kita memang berjarak dari moralitas. Selain minah, masih banyak kasus kasus serupa yang berujung nirkeadilan.[1]Hal ini dilatarbelakangi penegakan hukum yang rigid dalam mengikuti bunyi peraturan yang hanya disahkan sebuah otoritas dalam hal ini adalah pemerintah. Penegakan hukum kita juga tidak memberikan ruang kepada moralitas maupun nilai nilai lain dalam prosesnya.

Asumsi asumsi yang dibangun ini, menandakan penegakan hukum kita berkiblat pada madzab positivisme.[2]Yang menjadi catatan penting adalah Positivisme merupakan bagian dari Politik Hukum Kolonial untuk mempertahankanstatus quo penjajahan.Strategi unifikasi hukum, membuat norma yang telah lama hidup dalam masyarakat, semacam Hukum adat dan Islam, sengaja tersingkirkan.

Contoh termudah adalah, hilangnya mekanisme musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana yang dikenal dalam hukum adat maupun hukum islam. UU mengaharuskan arus perkara pidana dirampungkan lewat pengadilan, meskipun masyarakat sebenarnya enggan, karena ruwetnya birokrasi dan proses yang tidak berujung keadilan. Mereka memilih penyelesaian secara “diam-diam” dengan jalan musyawarah, hal ini dibuktikan dengan beberapa catatan empiris.[3]

Selayang pandang Positivisme

Positivisme hukum secara umum, dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran analytical Yurisprudence yang dikembangkan oleh Austin dan Teori Hukum Murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.[4]Hukum dalam pandangan Analitical Yurisprudence, diartikan sebagai perintah (Command) suatu otoritas. Perintah dari otoritas bersifat memaksa dan memiliki sanksi jika tidak ditaati.[5]

Sedang dalam Teori Hukum Murni, Hukum diterjemahkan memiliki sifat otonom. Ia berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, dan bersih dari segala anasir lainya semacam politik, ekonomi, agama,maupunideologi.[6] Metode ini, hampir sama yang dilakukan Filsuf Yunani dengan konsepBios-theoritikhosatau pemurnian terhadap segala unsur metafisis yang menghalangi proses pencarian kebenaran.[7]

Awalnya, Teori hukum murni dikembangkan Kelsen untuk menciptaka ilmu yang “khas” Hukum. Hal ini dilatarbelakangi, dominanya ilmu hukum dipengaruhi dua paradigm pada saat itu yaitu Teori Hukum alam (natural law theory) yang memasukan unsur moral dalam hukum dan Teori hukum empiris positivstik (empirico positivist theory of law) yang terinternalisasi perilaku empiris.[8]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline