Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fahrizal Aziz

Penulis, Blogger

Rokok adalah Kita

Diperbarui: 23 Agustus 2016   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak isu kenaikan harga rokok yang konon mencapai 50rb/bks, pertama yang berkomentar justru  tetangga sebelah yang hendak merenovasi rumah, padahal dia dan suaminya juga bukan perokok. Ia mengeluh karena sebagaimana tradisi, jika menyewa tukang, harus menyediakan rokok. Jika harga rokok melejit seperti itu, kata dia, bisa bangkrut. Lebih mahal dari biaya makan.

 Begitupun dengan pekerja-pekerja kasar yang membangun jalan, jembatan, gedung perkantoran, dll juga punya budaya merokok yang kuat. Memang tidak semua, tapi mayoritas demikian. Belum lagi acara kumpul warga seperti yasinan tiap malam jumat. Rokok selalu tersaji.

 Sementara sebagian orang pun juga pesimistik jika kenaikan harga rokok bisa mengurangi jumlah perokok aktif. Apalagi rokok bersifat adiktif. Karena sudah adiktif, maka bukan lagi jadi kebutuhan tersier, atau sekunder, bisa jadi kebutuhan primer.

 Misal saja, dibeberapa daerah banyak orang tewas menenggak miras oplosan. Bisa jadi mereka tak punya cukup uang untuk membeli miras yang murni, maka dioploslah. Ada atau tidak adanya duit, candu miras tetap jalan dengan berbagai variasinya.

 Bukan tidak mungkin, jika rokok kemasan semakin mahal dan tak terjangkau kantong masyarakat menengah kebawah yang notabene konsumen terbesar rokok, mereka akan kembali menggunakan cara lama : meracik sendiri tembakau, cengkeh, dan kertasnya. Istilah orang jawa, ngelinting dewe.

Juga muncul kekhawatiran dari ahli ekonomi, jika harga rokok resmi yang berpita cukai tidak terjangkau dipasaran, maka akan memicu semakin banyaknya rokok ilegal. Hal ini juga meningkatkan kriminalitas.

Para perokok aktif tentu banyak yang menentang kenaikan harga rokok tersebut --apapun dasar argumentasinya-- intinya karena dia perokok, maka dia merasa ketar-ketir jika harga rokok melambung tinggi. Bahkan dibeberapa media online, sampai dimunculkan argumentasi bahwa perokok punya kecerdasan lebih, berumur panjang, dlsb. Agar stigma rokok sebagai "pembunuh" pun bisa diminimalisir.

Ada juga yang bertanya, jika rokok resmi berpita cukai kemudian tidak laku karena harganya mahal, lalu bagaimana dengan industri hiburan yang selama ini supporting utamanya perusahaan rokok? Juga nasib olah raga kita, dan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan rokok?

Ternyata rokok memang sudah menyatu dalam denyut nadi kehidupan bangsa kita Indonesia. Meski pihak yang setuju dengan kenaikan harga rokok kemudian membandingkannya dengan harga rokok diberbagai negara di dunia. Rokok di Indonesia termasuk yang paling murah.

Namun perbandingan tersebut juga harus dibarengi dengan kemampuan daya beli. Orang kaya tentu tidak akan membeli rokok kemasan yang dijual bebas dipasaran, mereka lebih memilih cerutu yang harganya cukup mencengangkan.

Saya pribadi bukan perokok, dan kadang merasa terganggu dengan orang yang merokok di publik area. Seorang yang bukan perokok kadang terpaksa toleran dengan perokok. Ia bisa menikmati rokoknya, kita tersiksa dan tercekik karena asapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline