Lihat ke Halaman Asli

Fadhil Nugroho Adi

Penulis Paruh Waktu

Kejawen, Jalan Sunyi Menjaga Spiritual Diri

Diperbarui: 1 Januari 2020   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: archive.ivaa-online.org

ORANG Jawa selalu punya cara pandang yang unik pada setiap peristiwa. Entah itu kebetulan-kebetulan yang tidak disengaja, fenomena alam, maupun kehidupan manusia dari dilahirkan sampai ia mati.

Contoh sederhana, larangan menyapu di malam hari. Meski secara nalar sulit dideskripsikan alasan pantangan tersebut, namun orang Jawa percaya jika menyapu di malam hari akan membuat si penyapu "seret" rejeki. Atau larangan duduk di depan pintu yang bikin sulit jodoh, dan pantangan-pantangan lainnya.

Keyakinan yang telah tumbuh secara turun temurun ini dipercaya bisa memengaruhi siklus kehidupan manusia. Siklus yang disebut dengan "sangkan paraning dumadi". Dari mana manusia berasal dan hendak ke mana dia setelah kematiannya.

Untuk memperbaiki siklus hidup yang tidak sempurna, seseorang wajib menjalankan sejumlah tirakat atau lelaku. Yang populer adalah ruwatan. Upacara yang digelar setiap Sura ini diikuti oleh para "nandang sukerta" yang diyakini bakal menjadi mangsa Batara Kala.

Ada banyak golongan yang harus dilepas sukerta-nya, seperti anak tunggal (laki-laki/perempuan), anak lima lelaki/perempuan semua (Pandhawa/Pendhawi), anak laki-laki sebagai anak tengah (pancuran kapit sendhang) atau anak perempuan sebagai anak tengah (sendhang kapit pancuran), anak yang lahir pada waktu yang tidak baik, dan seterusnya bahkan sampai orang yang menanak nasi hingga gosong sekalipun.

Selain dengan tirakat dan lelaku, agar perilaku manusia selalu terjaga dalam siklus hidupnya, maka dia wajib memperhatikan apa yang disebut dengan "ngundhuh wohing pakarti".

Dalam tahap ini, seseorang menjalankan tapa brata yang sejati dalam hidupnya dengan menjalankan segala kebaikan. Sapa nandur, bakal ngundhuh. Siapa menanam, dialah yang menuai.

Dalam bahasa yang lain, kita menyebutnya sebagai karma. Ada karma buruk, ada karma baik. Untuk menghasilkan karma baik, orang Jawa terikat dengan berbagai pitutur dan wewaler  yang termaktub dalam sederet serat dan kitab-kitab kuno.

Piwulang-piwulang kautaman inilah yang menjadi dogma dalam rangka memayu hayuning bawana. Agar apa? Agar menjadi manusia dengan derajat 'titah utama'. Agar setelah mati, budi baiknya tidak ikut mati.

Kesadaran Tertinggi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline