Untuk meninggalkan jejak kebaikan selama hidup, ada baiknya seseorang mengerti betul dari mana dia berasal dan akan ke mana dia berakhir. Manusia Jawa bisa mengejawantahkannya.
Dalam sebuah kepustakaan lawas yang saya temukan dari tahun 1959 berjudul "Sangkan Paraning Manungsa", tertulis jika manusia berasal dari empat hal: mutmainah (yang dilambangkan dengan air), amarah (darah), supiyah (angin) dan aluamah (bumi).
Keempat unsur inilah yang menjadi pusat kehidupan. Keempat hal ini dimaknai dengan, manusia musti mengerti jika memiliki air dalam tubuhnya yang keluar melalui air seni.
Manusia punya darah yang menjadi keringat, dan punya hawa nafsu yang juga berasal dari darah. Manusia punya angin, yaitu yang keluar dari hidung. Unsur tanah di tubuh manusia bisa dilihat dari daki, maka meski mandi berapa kalipun sehari, daki di tubuh manusia tidak akan bisa habis.
Sementara itu Suryo S Negoro dalam bukunya, "Kejawen Membangun Hidup Mapan Lahir Batin" (2001) menulis, manusia tercipta lewat proses gaib yang terlahir bersama, sehingga manusia bisa berkarya, berpikir, berintuisi dan seharusnya juga bisa berhubungan dengan gaib.
Rasa syukur kepada Sang Pencipta Hidup ini diwujudkan dalam laku penyembahan yang akan lebih terbuka jika dilakukan atas kemauan, kesadaran, dan perasaan batin yang bersih. Sang Hyang Suksma dan Jiwa yang menyatu dalam diri manusia tetap memiliki sifat-sifat gaib yang membantu manusia dalam rangka membangun hubungan serasi dengan Sang Pencipta.
Manusia dipersyaratkan untuk membangkitkan Roso Sejati (bisa dicapai dengan sikap dan laku baik dan benar, menghayati sejati hidupnya dan selalu tawakal kepada Gusti) untuk membuktikan sendiri bahwa Hyang Suksma dalam sejatinya mempunyai pamor.
Perjalanan spiritual inilah yang nantinya akan mengantarkan manusia pada kesadaran akan adanya Realitas Tertinggi yang disebut "Kang Murbeng Dumadi". Kesadaran tersebut akan dapat dicapai bila dibarengi dengan "laku kebatinan" yang dalam khasanah Jawa disebut dengan "laku nawungkridha".
Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai "tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine".
Sedulur Papat
Laku kebatinan tersebut sekaligus menjadi bukti kalau orang Jawa tidak akan main-main jika sudah berbicara tentang hal-hal yang bersifat gaib. Sebab memang, peradaban Jawa percaya adanya hubungan yang erat antara makhluk gaib dengan hidup dan kehidupan manusia. Mereka berperan serta untuk menjaga hayuning jagad.Â