Lihat ke Halaman Asli

Moh. Fadhil

Dosen IAIN Pontianak

Suramnya Wajah KPK

Diperbarui: 21 September 2019   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi di depan gedung KPK (Gambar: Tribunnews - Irwan Rismawan)

Kejutan demi kejutan tersaji dalam bab akhir panggung politik di hadapan publik yang menanti akhir kisah periode kekuasaan parlemen yang cukup menguras psikologi dan emosionalitas rakyat. 

Alih-alih menjadi happy ending, publik justru dikejutkan dengan twist yang membangkitkan gelora anarki. Kekuasaan parlemen seolah ingin memberikan kado spesial kepada publik di akhir masa kekuasaannya. Bukannya menjadi akhir yang manis, kado tersebut penuh dengan tipu daya muslihat kekuasaan.

Tengoklah betapa terburu-burunya kekuasaan Parlemen ingin mengesahkan RUU KUHP yang digadang-gadang antikolonial padahal substansinya adalah neo-kolonial. RUU Pertanahan yang penuh dengan ironi mengorbankan hak-hak masyarakat atas tanah dan tidak mengindahkan konflik agraria demi memberi stimulus pada mulusnya investasi. 

Terakhir penulis sangat terkejut dan harus memeras logika atas kemunculan revisi UU KPK secara senyap yang langsung disetujui oleh Parlemen. Publik kemudian memberi judul "corruptor fight back."

Tanda Tanya Bagi Parlemen

Belum selesai keterkejutan penulis yang sibuk mempelajari RUU KUHP dan RUU Pertanahan, kini kekuasaan Parlemen seolah dengan mudahnya telah mengesahkan RUU KPK. 

Sebuah twist plot dari bab akhir kisah kekuasaan Parlemen saat ini yang penuh dengan jumpscare bagi publik seolah betapa horornya konsolidasi politik dalam proses reformulasi regulasi terkait sistem penegakan hukum di Indonesia. 

Semua digenjot secara terburu-buru tanpa adanya kajian yang matang dan penuh dengan intrik politik. Mengingat pandangan Mahfud MD, bahwa undang-undang merupakan produk politik sehingga konfigurasinya berkelindan dengan struktur politik di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa reformasi sistem penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur politik yang berkuasa.

Dalam membangun sistem penegakan hukum di Indonesia tidak hanya dengan melihat secara terbatas di dalam ruang-ruang catur wangsa saja sebagaimana disebutkan sebagai integrated criminal justice reform. 

Akan tetapi, sistem penegakan hukum juga sudah dibangun sejak awal secara politis sebagai suatu politik hukum dalam proses formulasinya di lembaga Parlemen bersama-sama dengan Pemerintah. 

Proses tersebut menurut Muladi merupakan dua proses rotasi yang terus berputar dalam sistem penegakan hukum, yakni penegakan hukum in abstracto sebagai proses formulasi menemukan formula yang tepat dalam membangun sistemnya dan penegakan hukum in concreto sebagai proses aktual dalam menjalankan sistem peradilan pidana yang terintegrasi pada ruang-ruang aparat penegak hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline