Lihat ke Halaman Asli

Eva Rosita

Art and Education

Kontroversi di Balik Beauty and the Beast

Diperbarui: 26 Maret 2017   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Aku mau nonton tapi kata Mama nggak boleh” curhat salah satu siswa saat teman-temannya tengah asyik bercerita tentang film Disney terbaru, Beauty and the Beast. Larangan sang Mama rupanya berasal dari salah satu grup chat di sosial media yang cukup tersebar luas di kalangan akademisi, orangtua, dan sekolah tentang unsur LGBT di film tersebut. Namun benarkah demikian? Dengan kuatnya peran media saat ini, kabar inipun memberikan keresahan yang menjadikan mereka defensif dan paranoid.

Kalau diingat-ingat lagi, hal serupa sebenarnya sering dilihat dari tontonan televisi dan perfilman Indonesia yang menambahkan bumbu serupa atau yang menjurus ke arah tersebut dari mulai yang produksinya berpuluh tahun yang lalu sampai yang masa kini. Bedanya dengan film remake animasi kisah Belle dan Beast adalah isu legalitas LGBT pasca penetapannya oleh Presiden Obama di Amerika semakin dianggap biasa oleh masyarakat dunia. Entahlah kekhawatiran pihak-pihak tertentu berlebihan atau tidak dengan adanya beberapa adegan yang semula semata-mata dimunculkan sebagai entertainment, rasanya memang mustahil mengharapkan film komersil yang benar-benar bersih untuk bisa dinikmati di bioskop ataupun di televisi.

Di balik rumor tersebut, pesan moral yang diangkat oleh Disney dalam film-filmnya terbilang sangat baik. Para penonton bisa mempelajari nilai-nilai karakter dan bagian terpenting dalam kehidupan diantaranya berbuat kebajikan, memaafkan, berani, pantang menyerah, dan bekerjasama. Kutipan-kutipan bagus dimunculkan di film ini, seperti,“Beautyis from within” atau kalimat khas dari judul Disney lainnya, Cinderella, “Have courage and be kind”. Terbuai oleh plot dan visualisasi menawan, pesan-pesan tersebut masuk ke bawah sadar penonton dan tidak sengaja mereka belajar sesuatu dari sana. Contoh lainnya, film animasi Moana dan Brave mengangkat keberanian, bahkan di film Maleficent yang tokoh utamanya antagonis juga terselip pesan untuk saling menyayangi dan memaafkan.

Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi konten yang dikeluhkan orangtua dan sekolah tersebut? Disanalah peran penting mereka diperlukan. Bagi anak yang di bawah umur, orangtua bisa mendampingi menonton dan memberikan penjelasan tentang bagian yang baik dan yang tidak sepantasnya. Sekolah juga dapat melakukan review dan kajian terhadap film yang sedang booming atau digandrungi remaja dari segala sisi. Pada saat ini, eksistensi Disney dapat dikatakan relatif lebih aman. Justru yang patut dikhawatirkan adalah tontonan yang minim manfaat yang mengangkat tema horor, kekerasan, aksi, dan dunia remaja yang disajikan berlebihan. Pada film-film bergenre inilah sebenarnya label ParentalAdvisory perlu diaktifkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline