Lihat ke Halaman Asli

Erusnadi

Time Wait For No One

Istana Pasir Pantai

Diperbarui: 16 September 2020   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Langit seakan mendung menyaksikan tuan dan puan bermegah-megah di singgasana istana. Seraya berpesta silang sengkarut kata di tubir jurang resesi. Sementara kami mulai terasa megap-megap dilanda ketidakpastian. Sampai kapan wabah corona ini berakhir. Pandemi telah mengancam mata pencaharian kami. Kami menggelapar lapar sekarang.

Aku sangka. Sebagian tuan dan puan sungguh-sungguh  melintasi cakrawala  untuk menyelami denyut urat nadi nafas kami. Tuan dan puan sedang berjuang mengoyak-ngoyak aral yang merintangi jalan hidup kami. Tuan dan puan tak pernah bosan mengubur mimpi jahanam iblis  yang hendak menghempaskan hidup kami.

Namun lama sudah. Kini  aku mulai ragu.

Tuan dan puan semuanya serasa dibayangi raksasa bercaling gading. Buas dan ganas. Tak tersentuh, bahkan tiada  teraba.  Namun ada di sekeliling dan menjelma dalam wujud angkara yang tuan dan puan sendiri tak menyadari.

Sesungguhnya tuan dan puan sebagaimana kami. Tak berdaya.  Juga tak kuasa. Sekalipun berada di menara tinggi  tampak masam dan berwajah masygul. Kendati dipayungi atap dan gedung tinggi terlihat menggerundel mangkel.

Sekarang suka atau tidak. Aku susah hati mengatakan tuan dan puan bagai  tinggal dan menetap di bangunan istana pasir di tepi pantai. Mudah koyak dihempas  semilir angin, lalu  menjadi butiran kerikil kecil  yang rata terserakan.

Di ujung itu penduduk negeri  tak berharap amuk resesi datang dalam hitungan hari. Mimpi pun tidak. Semoga kita semua dikuatkan dalam bayang-bayang nestapa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline