Langit seakan mendung menyaksikan tuan dan puan bermegah-megah di singgasana istana. Seraya berpesta silang sengkarut kata di tubir jurang resesi. Sementara kami mulai terasa megap-megap dilanda ketidakpastian. Sampai kapan wabah corona ini berakhir. Pandemi telah mengancam mata pencaharian kami. Kami menggelapar lapar sekarang.
Aku sangka. Sebagian tuan dan puan sungguh-sungguh melintasi cakrawala untuk menyelami denyut urat nadi nafas kami. Tuan dan puan sedang berjuang mengoyak-ngoyak aral yang merintangi jalan hidup kami. Tuan dan puan tak pernah bosan mengubur mimpi jahanam iblis yang hendak menghempaskan hidup kami.
Namun lama sudah. Kini aku mulai ragu.
Tuan dan puan semuanya serasa dibayangi raksasa bercaling gading. Buas dan ganas. Tak tersentuh, bahkan tiada teraba. Namun ada di sekeliling dan menjelma dalam wujud angkara yang tuan dan puan sendiri tak menyadari.
Sesungguhnya tuan dan puan sebagaimana kami. Tak berdaya. Juga tak kuasa. Sekalipun berada di menara tinggi tampak masam dan berwajah masygul. Kendati dipayungi atap dan gedung tinggi terlihat menggerundel mangkel.
Sekarang suka atau tidak. Aku susah hati mengatakan tuan dan puan bagai tinggal dan menetap di bangunan istana pasir di tepi pantai. Mudah koyak dihempas semilir angin, lalu menjadi butiran kerikil kecil yang rata terserakan.
Di ujung itu penduduk negeri tak berharap amuk resesi datang dalam hitungan hari. Mimpi pun tidak. Semoga kita semua dikuatkan dalam bayang-bayang nestapa.