Lihat ke Halaman Asli

Erniwati

ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan

Dilema Pilih Nyicil KPR atau Ngontrak Rumah?

Diperbarui: 1 Mei 2024   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Gambar diolah dari Canva.com

Tadinya saya pikir judul yang tertulis di headline Kompasiana itu sebuah artikel yang mengulas kekurangan dan kelebihan dari pilihan Nyicil KPR ataupun Ngontrak Rumah. Tetapi, itu pengumuman untuk Topik Pilihan. Nah, Kebetulan sekali saya pernah mengalami dua-duanya, jadi bolehlah saya berbagi cerita.

Dulu sekitar 12 Tahun yang lalu, ketika saya baru saja 5 Tahun menjadi PNS, memiliki rumah BTN adalah sebuah mimpi. Mimpi dari kecil bahwa ingin sekali punya rumah di kompleks perumahan yang bernama BTN. Dalam bayangan saya jendela persegi panjang, dengan tampilan rumah minimalis yang rapi, taman kecil di depannya dengan beranda dan kursi santai pula.

Singkat cerita saya pun memutuskan menyekolahkan SK (bahasa tren PNS untuk ambil utang bank) ke salah satu bank yang terkenal dengan akad KPR0nya, kebetulan ini bank konvensional. Karena saat itu masyarakat belum terlalu melirik bank syariah yang memang masih sedikit sekali di tempat saya. 

Akhirnya setelah akad, kunci rumah pun saya pegang. Dengan tekad mewujudkan manisnya mimpi, segera saya pun pindah dari rumah di kampung ke rumah baru, saya tata sedikit demi sedikit sesuai mimpi saya. Terasa sangat bahagia karena sudah punya rumah sendiri meskipun kredit.

Ada komitmen yang saya pegang saat itu, saya lebih memilih makan seadanya daripada tidak mandiri dalam mengatur hidup sendiri, maka apa pun yang terjadi saya harus tinggal di rumah sendiri. Karena rumah di kampung tanah mertua saat itu. Rumah milik sendiri namun masih ada hutang budi yang terasa berat, tanah adalah hasil diberi.

Selama 2 tahun pertama menyicil, cicilan memang flat atau sama. Namun masuk tahun ketiga cicilan bertambah sebesar Rp 250.000 per bulan, yang cukup membuat saya merasa berat. Eh ternyata bukan saya sendiri, beberapa orang di kantor saya yang juga mengambil KPR di bank tersebut bahkan ada yang naik hingga Rp 450.000 ribu per bulan cicilannya. Bukan angka kecil untuk kami yang PNS biasa.

Meskipun saya sudah paham itu akan terjadi, namun saya berpikir dengan status PNS ini saya tidak bisa mengandalkan spekulasi pihak bank yang menyatakan "apabila suku bunga turun, bisa jadi cicilan pun berkurang".

Yang sangat saya sadari adalah gaji tetap maka pengeluaran pun harus dapat dipastikan! Alhasil saya pilih take over ke bank lain yang menurut saya lebih friendly, sekaligus karena ada kebutuhan usaha untuk kompensasi lagi ke bank ini.

Akhirnya seluruh utang saya pun pindah ke bank konvensional baru dengan mudah, dengan cicilan baru yang tetap selama 2 tahun.

Namun mendekati akhir 2 tahun, saya mulai tertarik dengan sistem yang di tawarkan oleh Bank Syariah. Sedikit penjelasan yang saya dengar dari sales marketingnya yang saat itu datang ke kantor. Singkatnya, saya paham dan mau beralih ke Bank Syariah meskipun saat itu cicilan lebih mahal Rp 200.000 dari tawaran bank lain, namun kepastian pengeluaran setiap bulan akan lebih membuat saya nyaman. karena cicilan ini tidak akan berubah hingga selesai pembiayaan (kredit).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline