Lihat ke Halaman Asli

erisman yahya

Menulislah, maka kamu ada...

Meratapi Keputusan Bawaslu

Diperbarui: 10 Januari 2019   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: geotimes

Paling tidak sudah dua kali Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membuat keputusan yang menurut hemat penulis "bertentangan" dengan kehendak mayoritas rakyat. Keputusan itu tidak saja "mencederai" cita-cita reformasi, tapi juga terasa jauh dari kebenaran logika berfikir.

Keputusan teranyar Bawaslu yang membuat "miris" adalah meloloskan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Entah bagaimana logika berfikirnya, seorang ketua umum partai politik boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Padahal sejak awal, sangat jelas dan tegas, DPD dibentuk sebagai wadah bagi daerah untuk memperjuangkan aspirasinya.

Namanya saja Dewan Perwakilan DAERAH. Dalam sistem bikameral atau parlemen dua kamar, pembagiannya sudah sangat jelas dan tegas. Partai politik silahkan berkiprah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Sementara wakil-wakil daerah yang populer dengan sebutan Senator silahkan berkiprah di DPD RI.

Tapi di negeri ini kadang memang aneh-aneh. Ingin mencontoh demokrasi dari negara lain, tapi kemudian dalam praktiknya suka "dimodifikasi" sesuai selera yang berkuasa.

Di Amerika, misalnya, seorang senator cukup besar kewenangannya. Ia bahkan menjadi tumpuan daerah pemilihannya dalam memperjuangkan aspirasi di tingkat pusat. Tapi di Indonesia bagaimana? Kadang (maaf) seorang senator lebih tinggi sedikit dari aktivis LSM, karena kewenangannya hanya sebatas mengusulkan. Tidak membuat keputusan.

Keadaan menjadi semakin "runyam", manakala DPD yang seharusnya menjadi lembaga bagi wakil-wakil daerah, kini mulai "digrogoti" oleh para politisi. Trus, apa masih layak kita menyebut lembaga itu sebagai DPD?

Sebelum ini, Bawaslu juga pernah mengeluarkan keputusan meloloskan mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif (caleg) dengan alasan hak azasi manusia (HAM). Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah tegas-tegas melarang sesuai dengan tuntutan zaman.

Apalagi bangsa ini sudah tegas-tegas menyatakan bahwa perilaku korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang pemberantasannya juga harus dilakukan secara luar biasa.

Bahkan untuk itu, bangsa ini juga sudah mendirikan lembaga super power, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi logika berfikir seperti ini nampaknya tidak menjadi pertimbangan bagi Bawaslu.

Hemat penulis, kehadiran Bawaslu seharusnya membuat pemilu semakin bernas, berkualitas dan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bukan membuat keputusan-keputusan yang terasa "menjauh" dari kehendak mayoritas rakyat. Wallahu'alam...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline