Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Kreator dan Pengajar

Apakah Penyaluran MBG di Sekolah Swasta Bergengsi Tepat Sasaran?

Diperbarui: 2 Oktober 2025   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : galeri pribadi 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pada dasarnya lahir dari semangat mulia: memastikan anak-anak Indonesia memperoleh asupan gizi seimbang agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menghadapi masa depan. Namun, ketika program ini diarahkan masuk ke sekolah-sekolah swasta bergengsi dengan biaya pendidikan yang sudah mencapai puluhan juta rupiah per tahun, muncul pertanyaan serius: apakah ini benar-benar tepat sasaran?

Beberapa hari lalu, sebuah postingan wali murid SDIT Al-Izzah yang menolak MBG masuk ke sekolah anaknya menjadi perbincangan hangat. Ia menilai bahwa kehadiran MBG justru tidak relevan bagi anak-anak yang sudah berasal dari keluarga mampu. Alasan ini cukup masuk akal. Anak-anak dari kalangan menengah atas umumnya sudah terbiasa dengan menu makanan bergizi lengkap, bahkan gaji supir atau asisten rumah tangga mereka saja bisa setara atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata penghasilan banyak keluarga kecil di Indonesia. Dalam konteks ini, pemberian makanan gratis bukan hanya tidak efektif, tetapi juga berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara.

Dikhawatirkan pula, makanan yang disediakan melalui program MBG di sekolah elit justru tidak akan dikonsumsi oleh siswa. Anak-anak dari keluarga berada cenderung memiliki selera tinggi dan pilihan makanan yang beragam. Alih-alih menambah manfaat, menu MBG bisa saja berakhir mubazir, menumpuk di tempat sampah karena dianggap tidak sesuai dengan standar konsumsi harian mereka. Fenomena ini tentu bertolak belakang dengan tujuan awal program: meningkatkan kualitas gizi anak bangsa.

Seharusnya, penyaluran MBG difokuskan pada sekolah-sekolah di daerah pinggiran dan pelosok, di mana anak-anak kerap kesulitan mengakses makanan bergizi. Di banyak wilayah, masih ada siswa yang berangkat sekolah dengan perut kosong atau hanya sarapan seadanya. Justru mereka inilah yang paling membutuhkan intervensi pemerintah agar tidak terjebak dalam lingkaran malnutrisi yang menghambat tumbuh kembang.

Namun, ada catatan penting. Program MBG bukan hanya soal distribusi, tetapi juga soal kualitas. Kasus keracunan makanan yang beberapa kali terjadi pada program serupa di masa lalu menjadi pengingat serius. Jangan sampai anak-anak dari keluarga kurang mampu yang seharusnya terbantu justru harus menanggung risiko kesehatan akibat rendahnya standar pengawasan. Maka, pengawasan ketat terhadap kualitas bahan, proses memasak, hingga distribusi sangat diperlukan.

Evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran MBG mutlak dilakukan. Pemerintah perlu mengkaji ulang kriteria penerima manfaat, memastikan bahwa program benar-benar menyasar anak-anak yang membutuhkan. Dengan begitu, MBG tidak hanya menjadi proyek pencitraan, melainkan instrumen nyata dalam menciptakan generasi sehat dan kuat.

Jika program ini salah sasaran, kita bukan hanya membuang anggaran percuma, tetapi juga kehilangan momentum memperbaiki gizi anak-anak yang benar-benar membutuhkan. MBG harus kembali pada esensi: berpihak kepada mereka yang benar-benar membutuhkan agar manfaatnya bisa diterima dengan baik, adil, dan merata. Program ini tidak boleh kehilangan arah dengan menyalurkan bantuan ke kelompok yang sejatinya sudah mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline