Lihat ke Halaman Asli

Mas Subchiatun

Menulis adalah melukis dunia.

Tarum

Diperbarui: 21 Februari 2022   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar:Wikiwand.com

Andai aku menjadi Tarum, aku ingin menemanimu dalam waktu panjangmu. Kamu dan aku telah menyatu, seperti atap bagi rumah. Rumah tidak bisa dikatakan rumah jika tanpa atap. Itulah mengapa di dalam namamu tersemat namaku, Ci Tarum. Ci adalah namamu yang bersanding dengan namaku Tarum. Namun kamu lebih suka jika dipanggil Citarum, tanpa jeda setelah Ci.

Ci pada namamu memiliki arti air atau sungai, sementara Tarum kamu ambil dari namaku. Ya, Tarum adalah aku. Aku adalah sahabatmu yang mampu menghasilkan zat warna indigo dari daun-daunku. Indigo adalah warna biru alami atau dalam banyak tulisan, mereka menamaiku Nila.

Aku tahu terasa berat bagimu berada di zaman yang semakin modern. Tinggal di atap kota yang semakin padat dengan segala riuh rendah dan dinamikanya. Kamu pernah mengeluh ingin mengakhiri hidup. Namun keinginan itu segera kamu kubur dalam-dalam. Keinginan itu selalu kalah oleh rasa cintamu pada bumi yang amat membutuhkanmu.

Satu waktu juga, kamu pernah terlihat kalut menyaksikan kawan-kawanmu dari sejenisku yang dibumihanguskan lantas digantikan oleh rumah dengan mesin-mesin yang menghasilkan limbah dan asap tebal menyesakkan dada.

Itulah yang menyebabkan alasanku ingin menjadi Tarum. Aku ingin menjadi sahabat dan penyokongmu dalam suka dan duka. Aku ingin melengkapimu dalam kekuranganmu. Begitu pun sebaliknya, kamu melengkapi aku dalam kekuranganku.

Kamu dan aku adalah contoh hubungan yang menguntungkan. Mereka yang pintar-pintar itu menyebutnya dengan istilah simbiosis  mutualisme. Tidak perlu aku jelaskan. Mereka pasti menguasai teori tentang simbiosis mutualisme.

Kamu menguntungkan bagiku. Kamu menyediakan air yang melimpah untuk dahagaku, hingga aku bisa menyambung hidup. Sementara aku membalas dengan membentengimu dari erosi yang menyebabkan kedalamanmu menjadi dangkal. Namun sayang, saat ini memang kedalamanmu semakin dangkal, karena aku kini sendiri. Sementara jenisku yang lain sudah tak sanggup lagi berada di pesisirmu.

Di kala tenang, saat kamu tidak disibukkan dengan derasnya hujan kamu ceritakan tentang masa lalu penuh bahagia. Kamu menceritakan nenek moyangku yang setia mendampingimu melewati sejarah penting tentang kerajaan  di tanah Sunda. Kamu ceritakan bagaimana Kerajaan Taruma harus terbelah sehingga membentuk kerajaan Pasundan dan kerajaan Galuh. Bahkan kamu sebagai sungai terpanjang dan terbesar di tanah Sunda menjadi batas sebagai tanda pembagian wilayah kedua kerajaan itu.

*****

"Tarum, sekarang bukan musim penghujan, tapi awan membisikkan padaku bahwa akan turun hujan yang begitu deras. Aku sudah tidak sanggup menahan debit air hujan yang terlalu melimpah. Entah apa yang akan terjadi. Apakah banjir akan melanda lagi?" Kamu menyampaikan kegelisahanmu itu dengan suara riakmu yang lirih.

"Sudah. Tidak usah terlalu berpikir keras. Tugasmu saat ini hanya menampung guyuran hujan itu semampumu. Biarkan saja mereka yang pintar-pintar itu mengatasinya. Toh, banjir juga terjadi karena ulah mereka juga kan?" Aku hanya membalas kegelisahanmu dengan santai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline